PENYAKIT TERNAK RUMINANSIA
PENYAKIT TERNAK
1.
Agen-Agen Penyebab Penyakit
Agen penyakit pada ternak dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a) penyebab fisik
b) penyebab kimiawi dan
c) penyebab biologis.
Penyebab penyakit akibat kimiawi maupun fisik merupakan penyakit yang bersifat tidak menular (non infeksius), sedangkan sebaliknya penyakit akibat biologis merupakan penyakit yang bersifat menular (infeksius).
A) Penyebab Fisik
Penyakit ternak yang disebabkan oleh agen fisik antara lain luka akibat benturan atau terjatuh karena lantai kandang yang licin pada sapi. Penanganan kasar oleh anak kandang sering kali menyebabkan luka-luka pada tubuh ternak.
B)
Penyebab Kimiawi
Penyakit yang disebabkan oleh agen penyakit yang bersifat kimiawi antara lain : penyakit defisiensi dan keracunan. Penyakit defisiensi mineral, seperti kalsium menyebabkan pertumbuhan terhambat, konsumsi pakan turun, laju metabolik basal meningkat, aktivitas menurun dan osteoporosis. Defisiensi vitamin, misalnya vitamin D menyebabkan rachitis, terutama pada hewan muda dan osteomalasia pada ternak yang sudah sempurna tulangnya, namun diberi pakan dengan kadar vitamin D yang kurang dari kebutuhan Osteomalasia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh dekalsifikasi sebagian tulang sehingga mengakibatkan tulang menjadi lunak dan rapuh.
Keracunan bisa juga disebabkan oleh bahan-bahan anorganik, seperti : H2S, NH3, CH4, merkaptan dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut sebagai kontaminan yang dibebaskan dari kotoran ternak. Amoniak memiliki arti penting pada peternakan ayam oleh karena gas tersebut tersebar luas di peternakan dan memberikan andil yang cukup besar dalam mempengaruhi kesehatan ternak maupun dan manusia.
Rumah Potong Hewan (RPH) juga merupakan sumber pencemaran, dimana biasanya berupa isi saluran pencernaan/feses dan bahan-bahan lain berupa sisa daging, lemak dan darah yang dibuang langsung ke sungai. Limbah tersebut mengandung N, P dan K serta kontaminan biologis yang berupa bakteri, jamur, virus, parasit, yang merupakan sumber infeksi yang bisa menular ke ternak lain dan banyak diantaranya bisa menyerang manusia (Dwi Rahayu, 2009).
Berikut merupakan contoh penyakit akibat kimiawi maupun fisik yang bersifat tidak menular (non infeksius) :
1.
Indigesti Rumen Sarat ( asidosis rumen)
Etiologi
Gangguan ini disebabkan karena sapi-sapi memakan bahan makanan penguat yang kayaakan karbohidrat secara berlebihan.. Selain itu juga karena kesalahan pengelolaan pakan,sapi-sapi yang terdiri dari berbagai umur yang dicampur dan mendapatkan jenis konsentratyang sama, sapi yang lebih kuat akan mendapat porsi jauh lebih banyak daripada yang lemah.Karena terlalu banyak memakan konsentrat yang terlalu tinggi karbohidratnya, seekor sapidapat menderita asidosis rumen. Kejadian rumen sarat banyak ditemui di lapangan dan terjadikarena kondisi hewan yang jelek dengan kualitas pakan yang kurang bermutu, yang kebanyakan terdiri dari serat kasar (jerami).
Patogenesis
Dalam keadaan normal, hasil pencernaan karbohidrat brupa asam lemak berantai pendek. Asam cuka ( 60-65%) dan asam susu, atau laktat yang jumlahnya kurang dari 20 mg %. Asam lain yang jumlahnya sedikit adalah asam semut, valerat, kaproat dan suksinat. Karena pergantian susunan pakan, dari susunan berimbang ke susunan yang kaya akankarbohidra, bakteri-bakteri gram coccos bovis berkembang biak dengan cepat, dan kemudian digantikan oleh bakteri Lactobacillus. Bakteri in akan menghasilkan asam susu yang berlebihan, sampai 20 %, hingga mampu menurunkan derajat keasaman normal (pH 6-7) menjadi asam sekitar pH 4. Pada saat yang sama histamin juga diproduksikan sebagai hasil dekarboksilasi histidin. Meningkatnya asam susu yang berlebihan mengakibatkan kenaikan kadar asam didalam darah, sehingga terjadi asidosis. Produksi histamin juga akan diserap oleh darah hingga menyebabkan toksemia.Pada derajat keasaman (pH) 5,5 sehingga dinding rumen jadi mudah mengalami lesi, yang selanjutnya merupakan pintu bagi bakteri patogen masuk ke jaringan lain melalui alirandarah. Sebagai akibat matinya bakteri-bakteri yang tidak tahan asam, produksi vitamin B1 juga menurun.
Rumen yang pada awal kejadian indigesti berisikan cairan yang cukup, karenamenarik cairan dari jaringan lain, dalam waktu beberapa hari juga akan kekurangan cairan.,dengan akibat lebih lanjut rumen jadi sarat berisikan ingesta yang kering. Selanjutnya karena penurunan aliran darah pada dinding rumen dan retikulum, oleh karena meregangnya jaringan,tonusnya pun akan menurun, sel kekurangan nutrisi, hingga selaput lendir akanmengalami kematian (nekrobiosis) (Subronto, 2003).
Gejala Klinis
Gejala indigesti bentuk ini dimulai dengan adanya rasa sakit pada daerah abdomen. Hewan nampak lesu dan malas bergerak. Nafsu makan dan minum hilang. Rumen mengalamidistensi ke arah lateral maupun medial. Hewan juga selalu mengalami dehidrasi berat, yangditandai dengan keringnya cermin hidung, kulit dsan bulu tampak kering serta bola mata yangtenggelam di dalam rongga mata. Tinja hanya terbentuk sedikit, konsistensinya lunak seperti pasta, bercampur lendir, dan berwarna gelap dengan bau yang menusuk Oleh adanya asam yang berlebihan, asidosis, akan menyebabkan kenaikan frekuensi pernafasan. Kebanyakan kasus diikuti dengan kelemahan jantung kompensatorik, dengan pulsus piliformis yang frekuensinya sekitar 120-140 kali/.menit.Karena dehidrasi yang berat, urin yang terbentuk dan dikeluarkan sangat sedikit bahkan bisa terjadi anuria.
Terapi
Pada gangguan yang bersifat awal, dapat diberikan larutan magnesium sulfat atausodiumsulfat 1-2 kali. Antihistamin, seperti DelladrylR sebanyak 10-15 ml secara suntikan. Pemberian antibiotic secara oral, misalnya penisilin untukmengurangi jumlah Lactobacillus dengan dosis 10 juta unit untuk sapi, kemudian diulang 12 jam kemudian (Subronto, 2003).
Pada penderita yang mengalami dehidrasi dilakukan penggantian cairan yang hilang, jumlahnya sesuai dengan derajat dehidrasi. Untuk mengurangi asidosis dapat diberikanlarutan sodium bikarbonat 2,5% sebanyak 500ml secara intravena perlahan-lahan untuk menghindari alkaliemia, atau pemberian soda roti 250 gram peroral 2 kali/hari (Subronto, 2003).
2.
Indigesti Sederhana atau Simpleks
Indigesti sederhana merupakan gangguan sindrom pencernaan yang berasal dari rumenatau reticulum, ditandai oleh hilangnya gerak rumen atau lemahnya tonus rumen hingga ingesta tertimbun di dalamnya dan serta juga ditandai dengan konstipasi.
Etiologi
Menurut Subronto (2003), kebanyakan kasus terjadi akibat perubahan pakan yangmendadak, terutama pada hewan muda yang mulai menyesuaikan diri untuk diberikan dengan baik akan tertimbun di dalam rumen, yang secara reflektoris mendorong rumenuntuk berkontraksi berlebihan. Akibat hal tersebut maka akan terbentuk asam laktat secara berlebihan yang kemudian menyebabkan gerakan rumen menjadi melemah. Dalam keadaan stasis rumen, pembentukan asam lemak volatile menjadi terhalang. Karena asam lemak tersebut diperlukan sebagai pembentukan air susu, dalam keadaan stasis rumen maka produksi susu akanmenurun.
Gejala Klinis
Penderita tampak lesu dan malas bergerak, nafsu makan hilang, sedangkan nafsu untuk minum. Pada awalnya frejuensi gerak rumen meningkat selama beberapa jam dan diikuti dengan penurunan frekuensi gerak dan tonus rumen. Pada palpasi rumen terasa ingesta lunak tapi tidak mencapai median dari rumen. Pembesaran rumen tidak terlalu berarti (Subronto, 2003).Pada umumnya frekuensi pernafasan dan pulsus masih dalam batas normalnya. Feses yang dikeluarkan biasanya hanya sedikit berlendir dan berwarna gelap dengan konsistensilunak.
Diagnosis
Penentuan diagnosis harus didasarkan pada data-data di atas. Dalam diagnosis banding perlu diperbandingkan dengan ketosis, retikulo peritonitis traumatika, dan dysplasia abomasa. Pada ketosis biasanya terjadi dalam waktu dua bulan pertama setelah kelahirandan disertai dengan kenaikan mencolok dari benda-benda keton dalam darah dan kemihnyaPada retikulo peritonitis traumatika gejala klinis yang ditemukan bersifat menonjol.Gambaran darahnya menunjukkan adanya perubahan radang akut. Dari dysplasia abomasaselain gejala-gejala tersifat, prosesnya juga berlangsung lebih lama (Subronto, 2003).
Terapi
Umumnya dapat sembuh dengan sendirinya, pemberian makanan penguat atau makanankasar hendaknya dihentikan sementara. Air minum yang ditambahi garam harus diberikan secara ad libitum. Untuk pengobatan dapat pula obat parasimpatomimetik seperti carbamyl-cholinedengan dosis 2-4 ml, disuntikkan subkutan pada sapid an kerbau dewasa untuk merangsanggerak rumen. Secara oral, preparat magnesium sulfat atau sodium sulfat, dengan dosis 100-400 gram dapat diberikan dengan aman.
3. Milk fever
Penyakit ini umumnya terjadi pada sapi perah. Kalsium esensial untuk hematologi, kontraksi otot dan metabolisme tulang
Etiologi
Kadar kalsium darah di bawah normal (<7 mg/dl). Faktor karena produksi susu tinggi, ternak berusia tua, manajemen pakan masa kering kurang baik. Pada domba umumnya terjadi pada akhir kebutingan, sedangkan pada kambing terjadi sebelum partus sebagaimana pada domba atau pasca partus terutama pada kambing perah yang berproduksi tinggi.
Gejala Klinis
Stadium awal (stadium eksitasi) hewan tampak kaku, tidak bergerak. Anoreksia. Gejala ini umumnya tidak begitu tampak karena berlangsung sangat singkat. Stadium dua (stadium sternal) hewan tidak mampu berdiri namun masih rebah sternal. Depresi, anoreksia, cuping hidung kering, suhu subnormal, ekstrimitas dingin. Stadium tiga (stadium terminal) hewan rebah lateral, lethargi, takikardia (120/menit), pulsus tidak terdeteksi, bloat. Kesadaran mulai hilang, tidak responsif terhadap rangsangan, koma. Gejala pada domba biasanya ambruk, paralisis. Namun kadang juga ditemukan tremor dan tetani. Rebah sternal sebagaimana terjadi pada sapi jarang ditemui pada domba. Gejala pada kambing mirip seperti pada domba.
Terapi
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Kurangi bloat yang terjadi. Sapi sebaiknya diposisikan rebah sternal. Berikan preparat kalsium seperti kalsium glukonat 23% 500 ml intravena. Pemberian kalsium sebaiknya secara perlahan dan periksa denyut jantung secara teratur. Bila terapi berhasil, maka sapi biasanya akan eruktasi, urinasi, defekasi dan berusaha bangun atau berdiri. Biasanya dalam 30 menit setelah terapi hewan akan berdiri. Bila perlu pemberian kalsium diulangi dalam12 jam. Pada domba atau kambing dapat diberikan kalsium buroglukonat 23% sebanyak 50-500 ml. Pencegahan dengan memberikan diet rendah kalsium saat masa kering setidaknya seminggu sebelum partus. Pemberian vitamin D3 menjelang partus. Pemberian kalsium yang cukup saat laktasi (Triakoso, 2010)
4.
Grass Tetany
Lactation tetany, hipomagnesia. Penyakit ini berkaitan dengan magnesium esensial dalam metabolisme, syaraf dan muskulus.
Etiologi
Kadar mg darah di bawah normal (<1,5mg/dl). Output dan input magnesium tidak seimbang. Kadar kalium rumen meningkat akibat defisiensi natrium (garam). Absorbsi mg menurun bila intake kalium meningkat.
Gejala Klinis
Akut. Bersifat fatal, kematian mendadak tanpa gejala terutama pada sapi yang dikandang. Mulut dan hidung berbuih. Lantai kandang akibat merejan sebelum mati. Hewan menunjukkan gejala syaraf, jalan kaku, gallop, melenguh keras sebelum rebah dan tidak bisa bangkit lagi. Tidak respon terhadap rangsangan (sinar, suara, sentuhan), kejang, tetany, menendang. Nistagmus. Subakut. Gejala lebih ringan, tidak mampu mengerakkan kaki 3-4 hari.
Diagnosa
Produksi susu tinggi, stress lingkungan, kadar kadar mg hijauan kurang (muda), perubahan pakan kering ke hijauan muda.
Terapi
Pengobatan: Injeksi 1,6-2,7mg boroglukonas, garam klorid atau hipofosfit. Kombinasikan dengan kalsium. 0,04 ml/menit/kg 25% larutan mg (0,025 g/ml). Oral magnesium untuk pencegahan. Pencegahan : sapi berisiko (pakan hay atau hijauan muda stress lingkungan, produksi tinggi). Daerah intensif pemupukan (PK) (Triakoso, 2010).
5.
Alkalosis RumenEtiologi
Etiologi
Karena diakibatkan oleh penggantian pakan dengan senyawa penghasil nitrogen darisenyawa non-protein, antara lain urea, biuret, dan garam ammonium. Senyawa tersebut umumnya digunakan sebagai pengganti protein, yang apabila digunakan secara berlebih dapat menyebabkan terjadinya alkalosis rumen yang disertai dengan intoksikasi (Subronto, 2003).
Patogenesis
Dalam rumen ruminansia, protein dan senyawa yang mengandung N (Non Protein Nitrogen) dimetabolisir hingga terbentuk ammonia yang merupakan konstituen utama daricairan rumen. Bila karbohidrat cukup tersedia sebagai substratnya, ammonia yang terbentuk berguna untuk pembentukan protein mikroba. Hidrolisis ureum oleh urease menjadi NH3 dan CO2, berlangsung cepat, kurang dari 1 jam. Peningkatan ammonia berakibat naiknya pH isi rumen manjadi 7,5-8,5 atau lebih. Kenaikan pH tersebut akan menyebabkan mati dan lisinya protozoa dan mikroorganismeyang tidak tahan suasana alkalis, dan terjadilah indigesti. Indigesti terjadi karena protozoa yang merupakan 20-50% dari massa mikroba rumen, atau 10% dari isi rumen, kematiannya akan memerostkan fermentasi dalam waktu 24-48 jam. Meningkatnya ion NH4+ diduga akan mengakibatkan terjadinya ikatan ion karbonat dalamhati, hingga terjadi rangsangan saraf-saraf perifer maupun otonom yang menyebabkantremor-tremor otot, hipersalivasi, kejang tetanik, maupun meningkatnya peristaltic usus.
Gejala Klinis
Gejala yang nampak adalah seperti gejala sarafi seperti, tremor pada otot-otot perifer, gigigemeretak dan hewan tak mampu berdiri. Kekejangan tetanik biaanya muncul tidak bersifatterus menerus. Pernafasan dangkal dan cenderung dipaksakan. Feses yang keluar bersifatseperti lendir dan dalam jumlah yang tidak banyak.
Diagnosa
Kalau pH tinggi protozoa akan mengalami kematian. Derajat keasaman7,5 atau lebihindikatif adanya keracunan atau rumen alkalosis. Kadar NH3-N sebesar 3-6 mg/dl indikatif untuk rumen alkalosis, yang mungkin karena keracunan urea.
Terapi
Untuk menetralkann isi rumen maka dapat diberikan larutan cuka (vinegar) 5% sebanyak 2-6 liter. Diberikan langsung intraruminal dengan sonde kerongkongan. Penyuntika MgSO4 untuk mengurangi kejang otot secara intra muscular juga dapat dilakukan.
6.
Kembung Rumen (Meteorismus, Timpani Rumen, Bloat)
Etiologi
Faktor pakan yang termasuk dalam tanaman leguminosa antara lain alfafa dan ladino.Imbangan antara pakan hijau dan konsentrat yang tidak seimbang, serta tanaman yangdipanen sebelum berbunga(muda) dapat berpotensi terjadinya kembung rumen.keadaan sapi juga berpengaruh dalam timbulnya kembung antara lain factor keturunan dan susunan serta pH saliva yang pada normal dapat mencegah pembentukan busa berisikan gas.
Gejala Klinis
Tampak pembesaran rumen, menggembung pada daerah fossa paralumbar sebelah kiri.sapitampak menjulur-julurkan leher kedepan, tampak gelisah. Nafsu makan hilang. Pulsusmengalami peningkatan. Rumen mengalami distensi arah medial yang dapat diketahui dengan palpasi rectal. Pada perkusi atas daerah rumen akan ditemukan suara timpani.
Diagnosis
Ditentukan berdasarkan anamnesis, gejala klinis saat pemeriksaan, dan riwayat ganti pakansecara mendadak. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan keracunan insektisida fosfor organik, karbonat, chlorinated hydrocarbon, nitrat, sianida, strichnin, dan grain overload/asidosis rumen (Subronto, 2003).
Terapi
Dengan perlakuan trokarisasi atau pemberian obat karminativa. Karminativa merupakan obat yang dapat meningkatkan pengeluaran gas dari lambung (via eruktasi). Umumnya berupa minyak volatil yang mudah diekskresikan lewat paru-paru, ginjal, dan kulit. Contoh :
- terpentin
- camphor - pipermin
- ginger
- serbuk anisi - menthol
Mekanisme kerja: pada iritasi mukosa GI, merelaksasikan spingter kardia sehingga gas
keluar (Howard, 2006).
7.
Indigesti dengan Toksemia
Etiologi
Karena adanya senyawa-senyawa amine. Senyawa yang berlebihan akan diserap oleh darah.
Patogenesis
Toksik dari senyawa yang berlebihan akan menyebar ke organ tubuh melalui darah. Sel hatimengalami keracunan akibat senyawa amine yang bersifat toksik. Gangguan metabolisme karbohidrat mengakibatkan penurunan kadar glukosa dalam darah. Peningkatan pemecahan protein akan terjadi peningkatan senyawa non protein nitrogen dalam darah. Hal ini akan mempengaruhi kerja setiap organ. Gangguan sirkulasi akan diikuti dengan gangguan pernafasan yang menagkibatkan lemahnya hewan penderita.
Gejala Klinis
Hewan mengalami kelemahan hingga tidak mampu berdiri. Mengalami anuria, nafsu makanmenurun, tidak ada aktifitas memamahbiak. Feses yang dikeluarkan berbentuk pasta dan berbaumenusuk (Subronto, 2003).
Diagnosis
Perlu dibedakan dari keracunan bahan-bahan anoganik dalam dosis subletal serta dari penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Clostridium botulinum dan Clostridium perfringens.
Terapi
Terapi yang diberikan biasanya bersifat simtomatik. Pemberian cairan elektrolit dan dextrose fisiologis. Diberikan pula obat yang merangsang ruminatoria dan pemberian anti histamin (diphenhidramin HCl).
C)
Penyebab Biologis
Penyebab penyakit yang berupa agen biologis antara lain : bakteri, virus, jamur, protozoa dan metazoa. Pada umumnya penyakit virus bersifat sangat akut karena menimbulkan angka kematian yang tinggi bagi ternak dan penyakit ini tidak dapat diobati, hanya dapat dicegah dengan sanitasi dan vaksinasi. Pengobatan pada penyakit virus dengan antibiotik dimaksudkan tidak untuk membunuh virus, namun hanya bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri yang memperburuk kondisi ternak. Demikian pula pemberian vitamin dan cairan elektrolit pada penyakit virus bertujuan untuk mempertahankan kondisi tubuh ternak supaya tetap baik.
Penyakit bakterial pada ternak tidak selalu bersifat kronis. Tingkat keparahan penyakit sangat tergantung pada jenis dan jumlah bakteri yang menginfeksi. Penggunaan antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis bakteri yang menyerang bisa menghasilkan angka kesembuhan yang memuaskan, namun penggunaan antibiotik yang kurang tepat akan menyebabkan terjadinya resistensi dan meningkatkan residu antibiotik pada produk-produk ternak.
Penyakit parasit yang disebabkan oleh parasit internal meliputi penyakit parasit cacing, seperti nematodosis, trematodosis dan cestodosis. Contoh penting yang lain adalah coccidiosis yang disebabkan oleh protozoa. Penyakit-penyakit parasit eksternal, antara lain scabies atau kudisan yang sering menyerang ternak ruminansia, disebabkan oleh Sarcoptes scabiei. Penyakit-penyakit parasit eksternal lain yang secara ekonomis juga merugikan antara lain adalah caplak, kutu, lalat, pinjal tungau, dan lain-lain.
Berikut merupakan contoh penyakit akibat biologis yang bersifat menular (infeksius) :
1.
BRUCELLOSIS (Keluron Menular)
Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Sedangkan pada manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disevut Demam Malta.
Kerugian ekonomi yang diakubatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa kluron, anak ternak yang dilahirkan lemah, kemudian mati, terjadi gangguan alat- alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporer atau permanen. Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu (Zulfikar, 2014).
Etiologi
Penyakit brucellosis atau penyakit keluron menular disebabkan oleh bakteri Brucella. Bakteri Brucella berbentuk kokobasil (short rods) dengan panjang 0,6-1,5 µm dan lebar 0,4-0,8 µm, bersifat Gram negatif, non motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan bersifat aerob. Karena tidak menghasilkan spora, bakteri Brucella mudah dibunuh dibawah sinar matahari namun apabila lingkungan jauh dari jangkauan sinar matahari maka bakteri ini dapat bertahan selama 6 bulan.
Terdapat 6 spesies yang saat ini dikenal yaitu : B. melitensis, B. abortus, B. suis, B. neotomae, B. ovis, dan B. canis. Disebut penyakit keluron karena karakteristiknya dapat menyebabkan keguguran/abortion pada hewan bunting (Dharmojono, 2001).
Gejala Klinis
1.
Pada kambing mengalami keguguran dalam 4-6 minggu terakhir dari kebuntingan dan
Kambing jantan memperlihatkan kebengkakan pada persendian atau testes.
2.
Pada sapi betina gejala keguguran, biasanya terjadi pada kebuntingan 5-8 bulan, kadang diikuti dengan kemajiran. Pada ternak jantan terjadi kebengkakan pada testes dan persendian lutut. Selain gejala utama berupa abortus dengan atau tanpa retensio secundinae (tertahannya plasenta), lesu, napsu makan menurun, kurus. Terdapat pengeluaran cairan bernanah dari vagina serta pada sapi perah dapat menyebabkan penurunan produksi susu. Perubahan pasca mati yang terlihat adalah penebalan pada plasenta dengan bercak- bercak pada permukaan lapisan chorion. cairan janin terlihat keruh berwarna kuning coklat dan kadang-kadang bercampur nanah.
3.Pada ternak jantan ditemukan proses pernanahan pada testis yang dapat diikuti dengan
nekrose.
Pencegahan
1)
Tindakan sanitasi yaitu :
a. Sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius dihapus hamakan. Fetus dan plasenta harus dibakar dan vagina apabila mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu.
b. Bahan-bahan yang biasa dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol, amonium kwarterner, biocid dan lisol.
c. Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila seekor ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka penis dan preputium dicuci dengan cairan pencuci hama.
d. Anak-anak ternak yang lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari ternak lain yang bebas brucelosis.
e. Kandang-kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicuci dan dihapus hamakan serta ternak pengganti jangan segera dimasukkan.
2) Tata laksana
3) Vaksinasi
Pengobatan
Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis.
2. ANTHRAK (Radang Limpa)
Anthrax bersifat zoonosis dan merupakan penyakit yang menimbulkan keresahan bagi peternakan dan manusia. Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan kulit terluka, terutama pada orang- orang yang banyak berhubungan dengan ternak. Anthrax adalah penyakit menular yang biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, kuda, babi dan sebagainya), yang disertai dengan demam tinggi dan disebabkan oleh Bacillus anthracis. berbagai jenis ternak liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat pula terserang. Anthrax merupakan salah satu zoonosis yang penting dan sering menyebabkan kematian pada manusia. Di Indonesia anthrax menyebabkan banyak kematian pada ternak. Kerugian dapat berupa kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong.
Etiologi
Penyebab penyakit anthrax adalah bakteri Bacillus anthracis. Faktor-faktor seperti hawa dingin, kekurangan makanan dan keletihan dapat mempermudah timbulnya penyakit pada ternak-ternak yang mengandung spora yang bersifat laten.
Penularan
1. Anthrax tidak ditularkan dari ternak yang satu ke ternak yang lain secara langsung. Wabah anthrax pada umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut.
2. Di daerah iklim panas lalat penghisap darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah penyakit.
3. Rumput pada lahan yang tercemari penyakit ini dapat ditempati spora.
Penyebaran
1. Dari pakan yang kasar atau ranting-ranting yang tumbuh di wilayah yang terjangkit penyakit anthrax. bahan pakan ini menusuk membran di dalam mulut atau saluran pencernaan dan masuklah bakteri Bacillus anthracis tersebut melalui luka- luka itu. jadi melalui luka-luka kecil tersebut maka terjadi infeksi spora.
2. Penularan dapat terjadi karena ternak menelan tepung tulang atau pakan lain atau air yang sudah terkontaminasi spora.
3. Gigitan serangga pada ternak penderita di daerah wabah yang kemudian serangga tersebut menggigit ternak lain yang peka di daerah yang masih bebas
4. Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan kulit terluka, terutama pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan ternak.
5. Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada pekerja-pekerja penyortir bulu domba (wool-sarter’s disease).
6. Melalui pencernaan terjadi pada orang- orang yang makan daging asal ternak penderita anthrax.
Gejala Klinis
Terdapat tiga bentuk penyakit anthrax :
1. Perakut: a. Penyakit yang sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena perdarahan di otak, b. sesak napas, c. Gemetar kemudian ternak rebah, d. Kejang-kejang. hanya dalam waktu 2-6 jam dapat mengalami kematian, dan e. Kematian dapat mencapai 100%.
2. Akut: a. Suhu badan meningkat (demam), b. Gelisah, c. Depresi d. Susah pernafasan, e. Jantung terlihat berpacu dengan cepat dan f. Lemah, g. Kejang-Kejang dan h. Segera mengalami kematian, i. Selama penyakit berlangsung, demamnya mencapai 41,50C. j. Produksi susu berkurang, k. Susu yang dihasilkan berwarna sangat kuning atau kemerahan, l. Terjadi pembengkakan pada tenggorok dan lidah, m. Kematian bisa mencapai 90% meski telah dilakukan pengobatan.
3. Kronis: Gejala yang ditandai dengan adanya lepuh lokal terbatas pada lidah dan tenggorokan.
3. MASTITIS (Radang Ambing)
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003).
Mastitis sering terjadi pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, dimana kerugian kasus mastitis antara lain : kehilangan produksi susu, kualitas dan kuantitas susu berkurang, banyak sapi yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar dalam industri sapi perah.
Etiologi
1. Resistensi atau kepekaan sehingga terjadinya penurunan gen- gen untuk menentukan
ukuran dan struktur puting.
2. Terjadinya hambatan akibat aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing.
3. Adanya berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, diantaranya jenis Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepedermicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa, serta yeast dan fungi juga sering menginfeksi ambing.
4. Faktor ternak dan lingkungann.
5. Faktor umur dan tingkat produksi susu.
Gejala Klinis
Secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara :
1. Akut: a. Kebengkakan ambing. b. Panas saat diraba, rasa sakit. c. Warna kemerahan dan terganggunya fungsi Fisiologinya. d. Air susu berubah sifat, menjadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin
2. Subakut: a. Radang bersifat subklinis apabila gejala- gejala klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. b. Derajatnya lebih ringan, c. Ternak masih mau makan, d. Suhu tubuh masih dalam batas normal.
3. Kronic: Proses ini berlangsung infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode berikutnya. biasanya berakhir dengan atropi kelenjar mammae.
Cara Penularan
Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari quarter terinfeksi ke quarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan lalat.
Diagnosis
1. Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu.
2. Perubahan warna air susu yang dihasilkan.
3. Pengujian lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test
(CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus,
4. Dengan Whiteside Test.
Pencegahan
1. Meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke
sapi lain,
2. Meminimalisasi kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting.
3. Penggunaan lap yang berbeda disarankan untuk setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan.
4. Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi
bakteri penyebab mastitis.
5. Dengan pemberian suplementasi vitamin E, A dan β-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu.
6. diupayakan untuk menekan kejadian mastitis.
Pengobatan
1. Pemberian antibiotik menggunakan jenis Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol dan golongan penicillin yang peka dengan dengan dosis yang dianjurkan.
2. Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik secara intra mamaria.
3. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga untuk menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis.
4. Injeksi dengan dedexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan.
5. Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp. masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp. masih peka terhadap penicillin.
4.
SEPTICEMIA EPIZOOTICA (Ngorok)
Penyakit SE adalah penyakit menular terutama pada kerbau, sapi, babi dan kadang- kadang pada domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Penyakit SE menyebabkan kematian, napsu makan berkurang, penurunan berat badan serta kehilangan tenaga kerja pembantu pertanian dan pengangkutan.
Di Indonesia, karena program vaksinasi SE dilakukan secara rutin, maka kejadian penyakit SE di Indonesia saat ini hanya bersifat sporadik. Namun wabah SE dalam jumlah cukup besar masih sering ditemukan, misalnya di daerah-daerah Nusa Tenggara, seperti Sumba, Timor, Sumbawa dan daerah-daerah lain. wabah SE biasa terjadi pada permulaan musim hujan. penyebabnya karena tidak tervaksinnya ternak-ternak di daerah itu.
Etiologi
Penyebab penyakit SE adalah bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus yang mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler dan secara serologik dikenal beberapa tipe dan penyebab SE di Indonesia, antara lain adalah Pasteurella multocida tipe 6B.
Penularan
1. Faktor-faktor predisposisi , seperti : kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan
sebagainya mempermudah timbulnya penyakit.
2. Trjadi serangan umumnya menyerang sapi umur 6-24 bulan dan sering pada musim hujan yang dingin.
3. Karena belum divaksinasi SE.
4. Kondisi stress dalam pengangkutan,
5. shipping fever.
Gejala Klinis
1. Masa tunas SE adalah 1-2 hari.
2. Lesu, suhu tubuh naik dengan cepat sampai 410C atau lebih.
3. Gemetar, mata sayu dan berair.
4. Selaput lendir mata hiperemik.
5. Napsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang, disertai
konstipasi.
6. Gangguan pencernaan berupa kolik, peristaltik usus naik, dengan tinja yang konsistensinya
agak cair dan kadang- kadang disertai titik-titik darah.
Pencegahan
1.
Daerah-daerah tertular, ternak-ternak sehat divaksin dengan vaksin oil adjuvant,
sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml secara intra muskuler.
2.
Vaksinasi dilakukan pada saat tidak ada kejadian penyakit.
3.
Perlakuan penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan, penyuntikan antibiotika, penyuntikan kemoterapetika, kombinasi penyuntikan antiserum dengan antibiotika atau kombinasi antiserum dengan kemoterapetika. Dosis pencegahan antiserum untuk ternak
besar adalah 20-30 ml dan untuk ternak kecil adalah 10-20 ml.
4.Antiserum heterolog disuntikkan secara subkutan (SC) dan antiserum homolog
disuntikkan secara intravena (IV) atau SC.
5.
Dua minggu kemudian bila timbul penyakit dilakukan vaksinasi ulang
Pengobatan
1. Perlakuan seroterapi dengan serum kebal homolog dengan dosis 100-150 ml untuk ternak besar dan 50 – 100 untuk ternak kecil.
2. Antiserum homolog diberikan secara IV atau SC. Sedangkan antiserum heterolog diberikan secara SC.
3. Penyuntikan dengan antiserum ini memberikan kekebalan selama 2 sampai 3 minggu dan hanya baik bila dilakukan pada stadium awal penyakit.
4. Sebaiknya pemberian seroterapi dikombinasikan dengan pemberian antibiotika atau kemoterapetika
5. Pengobatan dapat dicoba dengan preparat antibiotika, kemoterapetika atau gabungan
kedua preparat tersebut.
6. Sulphadimidine (suphamezathine) sebanyak 1 gram tiap 15 lb/bw.
5. PINK EYE (Penyakit Mata)
Pink Eye merupakan penyakit mata akut yang menular pada sapi, domba maupun kambing, biasanya bersifat epizootik dan ditandai dengan memerahnya conjunctiva dan kekeruhan mata. Penyakit ini tidak sampai menimbulkan kematian, akan tetapi dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi peternak, karena akan menyebabkan kebutaan , penurunan berat badan dan biaya pengobatan yang mahal.
Etiologi
Disebabkan oleh bakteri, virus, rikketsia maupun chlamydia, namun yang paling sering
ditemukan adalah akaibat bakteri Maraxella bovis.
Penularan
1. Kontak antara ternak peka dengan ternak penderita
2. Serangga yang bisa memindahkan mikroorganisme
3. Iritasi debu
4. Sumber-sumber lain yang dapat menyebabkan goresan atau luka mata.
Gejala Klinis
1. Mata berair, kemerahan pada bagian mata yang putih dan kelopaknya
2. Bengkak pada kelopak mata
3. Menjulingkan mata untuk menghindari sinar matahari.
4. Selaput bening mata/kornea menjadi keruh
5. pembuluh darah tampak menyilanginya.
6. Terjadi borok atau lubang pada selaput bening mata. Borok dapat pecah dan
mengakibatkan kebutaan.
7. Sembuh dalam waktu 1-4 minggu, tergantung kepada penyebabnya dan keganasan
penyakitnya.
Pencegahan
1. Memisahkan ternak yang sakit dari ternak- ternak sehat
2. Melakukan sanitasi pada lingkungan ternak tersebut
Pengobatan
1. Pemberian suntikan antibiotik, seperti terramicin, ampicilin, tetracyclin atau tylosin
2. Penggunaan salep mata
3. Menempatkan ternak pada tempat yang teduh
4. Menempelkan kain di mata dapat mengurangi rasa sakit mata akibat silaunya matahari.
6. HELMINTHIASIS (Cacingan)
Penyakit ini sering menyerang sapi muda (pedet) dan biasanya terjadi pada musim hujan atau dalam kondisi lingkungan yang basah atau lembab ini umumnya disebabkan oleh cara pemeliharaan yang kurang diperhatikan sehingga infeksi yang parah dapat menyebabkan tingkat kematian yang cukup tinggi. Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basah atau lembab.
Gejala Klinis
1. Diare profus (terus-menerus)
2. Faeces lembek sampai encer, berlendir dan disertai keluarnya segmen-segmen cacing dari
lubang anus
3. Anoreksia (nafsu makan berkurang)
4. Penurunan berat badan
5. Bulu kasar, kusam, kaku dan berdiri.
Pencegahan
1. Pemberian ransum/makanan yang berkualitas dan cukup jumlahnya
2. Menghindari kepadatan dalam kandang
3. Memisahkan antara ternak muda dan dewasa
4. Memperhatikan konstruksi dan sanitasi (kebersihan lingkungan)
5. Menghindari tempat-tempat yang becek
6. Menghindari pengembalaan yang terlalu pagi
7. Melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan secara teratur
Pengobatan
1. Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole, antara lain albendazole dengan dosis5
10 mg/kg berat badan, mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg berat badan dan thiabendazole dengan dosis 44-46 mg/kg berat badan.
2. Albendazole dilarang dipakai pada 1/3 kebuntingan awal. Mebendazole dan thiabendazole aman untuk ternak bunting, tetapi thiabendazole sering menyebabkan resistensi.
0 komentar:
Posting Komentar