Selasa, 28 Juni 2016

SAPI PERAH LAKTASI


SAPI PERAH LAKTASI,
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan sapi masa laktasi, antara lain :
1. Manajemen pakan dan air minum
2. Manajemen Pakan
Dalam pemberian pakan sapi laktasi harus diperhitungkan dan disesuaikan dengan kebutuhan yang didasarkan atas hidup pokok, pertumbuhan dan produksi. Pemberian pakan secara individu pada sapi laktasi di kandang atau milking parlor berubah mengarah ke sistem pemberian pakan yang baru. Meskipun metode yang lebih baru tidak seefektif pemberian secara individual, sistem ini lebih ekonomis daripada semua sapi diberi sejumlah konsentrat yang sama  tanpa memperhatikan produksi susu. Di samping itu, ada penghematan tenaga kerja dan fasilitas. Yang paling baik perbaikan pemberian pakan mengkombinasikan “seni dan ilmu pemberian pakan“ (Muljana,2005).
Pakan ternak yang diberikan kepada sapi perah kandungan zat zat pakan seperti karbohidrat, vitamin, protein, lemak air dan mineral. Pemberian pakan yang baik juga harus mempertimbangkan phalatabilitas dan aspek ekonomis. Pada pemberian pakan fase laktasi dikenal Phase Feeding. Phase Feeding merupakan suatu program pemberian pakan yang dibagi ke dalam periode-periode berdasarkan pada produksi susu, persentase lemak susu, konsumsi pakan, dan bobot badan. Lihat ilustrasi bentuk dan hubungan kurva produksi susu, % lemak susu, konsumsi BK, dan bobot badan. Didasarkan pada kurva-kurva tersebut, didapatkan 4 fase pemberian pakan sapi laktasi:
1. Fase 1, laktasi awal (early lactation), 0 – 70 hari setelah beranak.
Selama periode ini, produksi susu meningkat dengan cepat, puncak produksi susu dicapai pada 4-6 minggu setelah beranak. Pada saat ini konsumsi pakan tidak dapat memenuhi kebutuhan zat-zat makanan (khususnya kebutuhan energi) untuk produksi susu, sehingga jaringan-jaringan tubuh dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan. Selama fase ini, penyesuaian sapi terhadap ransum laktasi merupakan cara manajemen yang penting. Setelah beranak, konsentrat perlu ditingkatkan 1-1,5 lb per hari untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang meningkat dan meminimisasi problem tidak mau makan dan asidosis. Namun perlu diingat, proporsi konsentrat yang berlebihan (lebih dari 60% BK ransum) dapat menyebabkan asidosis dan kadar lemak yang rendah. Tingkat serat kasar ransum tidak kurang dari 18% ADF, 28% NDF, dan hijauan harus menyediakan minimal 21% NDF dari total ransum. Bentuk fisik serat kasar juga penting, secara normal ruminasi dan pencernaan akan dipertahankan bila lebih dari 50% hijauan panjangnya 1” atau lebih.
Kandungan protein merupakan hal yang kritis selama laktasi awal. Upaya untuk memenuhi atau melebihi kebutuhan PK selama periode ini membantu konsumsi pakan, dan penggunaan yang efisien dari jaringan tubuh yang dimobilisasi untuk produksi susu. Ransum dengan protein 19% atau lebih diharapkan dapat me-menuhi kebutuhan selama fase ini. Tipe protein (protein yang dapat didegradasi atau tidak didegradasi) dan jumlah protein yang diberikan dipengaruhi oleh kandungan zat makanan ransum, metode pemberian pakan, dan produksi susu. Sebagai patokan, yang diikuti oleh banyak peternak (di luar negeri) memberikan 1 lb bungkil kedele atau protein suplemen yang ekivalen per 10 lb susu, di atas 50 lb susu.
Bila zat makanan yang dibutuhkan saat laktasi awal ini tidak terpenuhi, produksi puncak akan rendah dan dapat menyebabkan ketosis. Produksi puncak rendah, dapat diduga produksi selama laktasi akan rendah. Bila konsumsi konsentrat terlalu cepat atau terlalu tinggi dapat menyebabkan tidak mau makan, acidosis, dan displaced abomasum. Untuk meningkatkan konsumsi zat-zat makanan:
1.      Memberi hijauan kualitas tinggi,
2.      Protein ransum cukup,
3.      Tingkatkan konsumsi konsentrat pada kecepatan yang konstan setelah beranak,
4.      Tambahkan 1,0-1,5 lb lemak/ekor/hari dalam ransum,
5.      Pemberian pakan yang konstan, dan
6.      Minimalkan stress.
2. Fase 2, konsumsi BK puncak, 10 minggu kedua setelah beranak.
Selama fase ini, sapi diberi pakan berkualitas untuk mempertahankan produksi susu puncak selama mungkin. Konsumsi pakan mendekati maksimal sehingga dapat me-nyediakan zat-zat makanan yang dibutuhkan. Sapi dapat mempertahankan bobot badan atau sedikit meningkat. Konsumsi konsentrat dapat banyak, tetapi jangan melebihi 2,3% bobot badan (dasar BK). Kualitas hijauan tinggi perlu disediakan, minimal konsumsi 1,5% dari bobot badan (berbasis BK) untuk mempertahankan fungsi rumen dan kadar lemak susu yang normal. Untuk meningkatkan konsumsi pakan:
1.      Memberi hijauan dan konsentrat tiga kali atau lebih sehari,
2.      Memberi bahan pakan kualitas tinggi,
3.      Membatasi urea 0,2 lb/sapi/hari,
4.      Meminimalkan stress,
5.      Menggunakan TMR (total mix ration).
Problem yang potensial pada fase 2, yaitu:
1.      Produksi susu turun dengan cepat,
2.      kadar lemak rendah,
3.      Periode  silent heat (berahi tidak terdeteksi),
4.      Ketosis.
3. Fase 3, pertengahan – laktasi akhir, 140 – 305 hari setelah beranak.
Fase ini merupakan fase yang termudah untuk me-manage. Selama periode ini produksi susu menurun, sapi dalam keadaan bunting, dan konsumsi zat makanan dengan mudah dapat dipenuhi atau melebihi kebutuhan. Level pem-berian konsentrat harus mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produksi, dan mulai mengganti berat badan yang hilang selama laktasi awal. Sapi laktasi membutuhkan pakan yang lebih sedikit untuk mengganti 1 pound jaringan  tubuh daripada sapi kering. Oleh karena itu, lebih efisien mempunyai sapi yang meningkat bobot badannya dekat laktasi akhir daripada selama kering.
2.1.2 Pemberian Air Minum
Sebagian besar kebutuhan air bagi ternak ruminansia dipenuhi dari air dan selebihnya berasal dari ransum dan dari proses metabolisme yang terjadi pada tubuh ternak. Menurut Muljana (1987), jumlah air yang diminum tergantung pada ukuran tubuh, temperature lingkungan, kelembaban udara dan jumlah air yang ada pada pakan. Sudono A(1990) menambahkan bahwa air yang dibutuhkan seekor sapi perah tidak cukup bila hanya diharapkan dari hijauan saja, walaupun kadar air hijauan sekitar 70%-80%. Air yang diperlukan seekor sapi perah sekitar 37-45 liter/hari. Sapi laktasi diberikan air minum secara ad-libitum  yang diletakkan dalam bak air minum di samping bak pakan. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Sudono et al.(2003), bahwa jumlah air minum dibutuhkan untuk menghasilkan 1 liter susu adalah 4 liter . Air minum yang dikonsumsi rata-rata per ekor adalah 47-50 liter. Menurut Siregar (1995), air minum yang dibutuhkan ternak sapi perah untuk memproduksi susu sekitar 30-40 liter per hari. Air minum tersebut diperoleh dari sumur yang terdapat di dalam area peternakan. Air dari sumur dipompa dengan mesin pompa air dan disalurkan kedalam bak penampung air dengan menggunakan peralon. Dari bak penampungan air dialirkan ketiap-tiap kandang dengan peralon yang didesain pada tiap kandang.
2.2. Pengelolaan Reproduksi Sistem perkawinan
Perkawinan alami ini dilakukan dengan cara memasukkan sapi betina ke dalam kandang kosong dan diikat kuat guna mempesempit ruang gerak sapi dan mendatangkan pejantan pada betina untuk dilangsungkan perkawinan. Mandor, teknisi, serta beberapa pekerja   kandang membantu jalannya perkawinan sapi apabila tanda-tanda birahi sudah tampak setelah 8 jam berlangsung dari awal birahi. Tanda- tanda birahi meliputi sapi tampak gelisah, nafsu makan berkurang, produksi susu menurun (untuk sapi yang sudah laktasi), keluar cairan bening putih dan pekat dari vagina. Menurut Toelihere (1985), waktu yang tepat untuk melakukan perkawinan adalah 9 jam setelah tampak gejala birahi sampai 6 jam setelah birahi berakhir. 2-3 bulan setelah melahirkan sapi perah harus sudah dikawinkan kembali (Anonimus,1995). Menurut Muljana (1982) bahwa sapi betina yang tidak bunting setelah dikawinkan akan mengalami siklus birahi 21 hari sekali dan lama birahi rata-rata 18 jam.
2.3  Pemerahan
Pemerahan Sapi yang sedang berproduksi memiliki jadwal pemerahan setiap hari yang pada umumnya di lakukan 2 kali sehari (Anonimus, 1995). Jadwal pemerahan yang teratur dan seimbang akan memberikan produksi susu yang lebih baik dari pada pemerahan yang tidak teratur dan seimbang. Sebelum pemerahan dilakukan, ambing dicuci terlebih dahulu agar susu tidak terkontaminasi dengan kotoran. Kemudian peralatan yang digunakan yaitu : ember, minyak kelapa sebagai pelicin dan penyaring susu disiapkan. Menurut Siregar (1995), bahwa sebelum pemerahan, puting diolesi dengan pelicin. Menurut Blakely dan bade (1992) bahwa proses pelepasan susu akan terganggu bila sapi merasa sakit dan ketakutan. Selain itu tangan pemerah harus bersih, dan kuku tidak boleh panjang, karena dapat melukai puting susu dan juga untuk menghindari terkontaminasinya susu oleh kotoran yang mengandung bakteri.
Metode pemerahan yang sering digunakan di Indonesia adalah  sebagai berikut :
a.       Whole Hand
Metode ini dilakukan dengan cara jari memegang puting susu pada pangkal puting diantara ibu jari dan telunjuk dengan tekanan diawali dari atas yang diikuti jari tengah, jari manis dan kelingking seperti memeras. Pemerahan secara Whole hand membutuhkan waktu rata-rata 6,64 menit untuk memerah seekor sapi dan cara ini digunakan untuk sapi yang putingnya panjang.
b.      Stripping
Metode ini dilakukan dengan cara puting dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk yang digeserkan pada pangkal puting bawah sambil dipijat. Pemerahan secara Stripping rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk memerah seekor sapi adalah 7,72 menit dan cara ini digunakan untuk sapi yang ukuran putingnya pendek.  Cara pemerahan tersebut sesuai dengan pendapat Syarief  dan Sumoprastowo (1985) yang menyatakan bahwa whole hand merupakan cara terbaik untuk sapi yang memiliki puting panjang dan produksi susu tinggi sedangkan cara Strippen biasa digunakan untuk sapi yan putingnya pendek.
c.       Pemerahan dengan mesin
Pemerahan susu dengan mesin masih sedikit digunakan di Indonesia, hanya peternakan dalam skala besar yang menggunakannya. Cara kerja dengan menggunakan mesin perah inihampir sama dengan pemerahan pakai tangan, hanya saja dibedakan dengan dengan mesin. Pemerahan berjalan dan air susu mengalir dalam ember. Lama pemerahan untuk setiap sapi perah kurang lebih 8 menit. Hal ini sangat tergantung pada banyaknya produksi susu yang dihasilkan (Dirjen Peternakan, 2009).
2.4 Sanitasi kandang dan Ternak
 Sanitasi kandang dilakukan dengan cara membersihkan tempat pakan dan tempat minum,  feses serta sisa pakan yang tercecer pada lantai kandang. Lingkungan kandang yang bersih dimaksudkan agar sapi tidak terserang penyakit dan susu yang dihasilkan tidak terkontaminasi oleh kotoran. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Pyne (1993), bahwa lingkungan kandang sapi harus bersih supaya saat pemerahan susu tidak terkontaminasi serta menjaga kesehatan sapi. Sumoprastowo (1990), bahwa memandikan sapi hendaknya dilakukan setiap hari sekitar pukul 06.00 - 08.00 WIB, yakni sebelum sapi diperah sehingga harus selalu bersih setiap kali akan diperah terutama bagian lipatan paha sampai bagian belakang tubuh. Sebab kotoran yang menempel pada tubuh sapi akan menghambat proses penguapan pada saat sapi kepanasan, sehingga energi yang dikeluarkan untuk penguapan lebih banyak dibanding dengan energi untuk pembentukan susu.
Pemeliharaan kuku perlu mendapat perhatian karena ini sebaian dari sanitasi dari pemeliharan sapiperah, apalagi saat laktasi kemungkinan dapat menurunkan produksi. Pemotongan kuku dilakukan setiap enam bulan sekali. Pemotongan dilakukan agar posisi kedudukan sapi saat berdiri serasi. Kuku dipotong pada bagian lapisan tanduk pada telapak kaki sampai rata sehingga bobot sapi terbagi rata pada keempat kakinya (Dirjen Peternakan, 2009).
2.5. Perkandangan
Bangunan kandang sebaiknya diusahakan supaya sinar matahari pagi bisa masuk ke dalam kandang. Sebab sinar matahari pagi tidak begitu panas dan banyak mengandung ultraviolet yang berfungsi sebagai disinfektan dan membantu pembentukan vitamin D. Pembuatan kandang sebaiknya jauh dari pemukiman penduduk  sehingga tidak menganggu masyarakat baik dari limbah ternak maupun pencemaran udara (Girisonta, 1980).
Sistem perkandangan merupakan aspek penting dalam usaha peternakan sapi perah. Kandang bagi sapi perah bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal saja, akan tetapi harus dapat memberikan perlindungan  dari segala aspek yang menganggu (Siregar, 1993), seperti untuk menghindari ternak dari terik matahari, hujan ,angin kencang, gangguan binatang buas, dan pencuri (Sugeng, 2001).
Ukuran kandang induk laktasi yaitu lebar 1,75 m dan panjang 1,25 m serta dilengkapi tempat pakan dan minum, masing-masing dengan ukuran 80 x 50 cm dan 50 x 40 cm. Kandang yang baik mempunyai persyaratan, seperti lantai yang kuat dan tidak licin, dengan kemiringan 2-5º dan kemiringan atap 30º serta disesuaikan dengan suhu dan kelembaban lingkungan sehingga ternak akan merasa nyaman berada di dalam kandang serta letak selokan dibuat pada gang tepat di belakang jajaran sapi (Girisonta, 1995).
Menurut konstruksinya kandang sapi perah dapat dibedakan menjadi dua yaitu kandang tunggal yang terdiri satu baris dan kandang ganda yang terdiri dari dua baris yang saling berhadapan (Head to Head ) atau berlawanan (Tail to Tail). Tipe kandang Head to Head dirancang dengan satu gang bertujuan agar mempermudah saat memberi pakan dan efisien waktu, sedangkan tipe kandang Tail to Tail terdapat 2 gang dengan tujuan untuk mempermudah saat membersihkan feses (Anonimus, 2002). Untuk bahan atap kandang dapat menggunakan genting, seng, asbes, rumbia, ijuk/ alang-alang, dan sebagainya. Menurut Girisonta (1980) bahan atap kandang yang ideal di negara tropis adalah genting. Dengan berbagai pertimbangan yakni genting dapat menyerap panas, mudah didapat, tahan lama, antara genting yang satu dengan yang lain terdapat celah sehingga sirkulasi udara cukup baik.

0 komentar:

Posting Komentar