Rabu, 14 September 2016

Fungsi mineral pada ternak






FUNGSI MINERAL PADA TERNAK , sangatlah penting, mineral merupakan salah satu zat penting yang dubutuhkan oleh tubuh ternak.
Fungsi mineral pada ternak adalah sebagai pembentuk struktur fisiologis, sebagai katalisator sekaligus berfungsi sebagai regulator. Semua jaringan tubuh ternak mengandung zat mineral dalam jumlah dan proporsi yang sangat bervariasi.
Mineral yang sangat penting bagi ternak dapat dibagi menjadi mineral makro dan mineral mikro.
Yang termasuk mineral makro adalah CA, P, K, Na, Cl, S dan Mg. Sedangkan yang termasuk mineral mikro adalah Fe, Zn, Cu, Mo, Se, I, Mn,Co, Cr, Sn, V, F, Si, Ni, dan As.
Pakan ternak yang baik harus mengandung mineral makro dan mikro tersebut dalam komposisi jumlah yang tepat.
Beberapa jenis mineral merupakan elemen inorganic yang dibutuhkan oleh ternak untuk proses pertumbuhan dan reproduksi. Jumlahnya memang hanya sedikit, namun komposisi semua jenis mineral yang ada harus tepat. Harus selalu ada dalam kompisisi yang tepat agar keseimbangan tubuh tetap terjaga. Berdasarkan kegunaanya dalam aktifitas hidup ternak, maka mineral dapat dibagi menjadi golongan esensial dan non esensial.
Magnesium ( Mg )
Mneral magnesium termasuk ke dalam jenis mineral makro yang fungsinya sangat penting. 70% dari total Mg dalam tubuh ternak terdapat dalam tulang atau kerangka tubuh, sedangkan 30% lainnya tersebar meata dalam berbagai cairan tubuh dan jaringan-jaringan lunak. Magnesium dibutuhkan oleh sebagai pembentukan berbagai macam system enzim, berperan juga dalam fungsi metabolism  karbohidrat  dan sangat dibutuhkan untuk memperbaiki system saraf. SIstem sistesis protein, asam nukleat, nukleotida dan lipid juga sangat membutuhkan peran dari magnesium.
Seng ( Zn )
Seng sebagaian besar terdapat dalam tulang, namun semua jaringan tubuh yang lain juga mengandung seng. Kulit, rambut dan bulu ternak juga mengandung seng. Zn berperan penting pada sintesis DNA serta metabolisme protein sehingga sistemtubuh akan terganggu jika defisien Zn. Proses metabolisme karbohidrat, lemak dan pembentukan system imunitas tubuh juga sangat membutuhkan salah satu jenis mineral ini.  ). Menurut Linder (1992) Zn merupakanmikromineral yang tersebar didalam jaringan hewan, manusia, dan tumbuhan sertaterlibat dalam fungsi metabolisme. Zn berperan juga dalam fungsi berbagai enzim, meningkatkan nafsu makan, produksi telur, daya tetas telur dan pertumbuhan tulang dan bulu pada ayam petelur.
Mineral seng ini dibutuhkan tubuh ternak dalam jumlah yang relative sedikit, hal ini sering disebut trace mineral. Jika terlalu banyak maka akan menyebabkan keracunan, indikasinya adalah mual, muntah-muntah, diare dan gangguan pada perut.
Absorpsi Seng yang utama terjadi pada bagian usus kecil. Pada ruminansia sepertiga pemberian Seng per oral diabsorpsi di abomasum, tetapi daerah absorpsi yang utama adalah usus kecil dan yang paling aktif pada duodenum (Underwood, 1977). Peneliti lain menyatakan bahwa ruminansia dapat mengabsorpsi 20 – 40 % Seng dari yang terkandung dalam pakan, namun pada ternak muda absorpsinya relatif lebih tinggi (Georgievskii et al., 1982).
Absorpsi Seng dipengaruhi oleh jumlah dan imbangan mineral lain serta kandungan Seng dalam ransum dan bentuk Seng yang diserap (Underwood, 1977). Tingginya level kalsium dapat menghambat absorpsi seng pada monogastrik (Georgievskii, et al., 1982).
 Besi ( Fe )
Lebih dari 90% Fe yangterdapat dalam tubuh terikat pada protein dan terutama pada hemoglobin darahmengandung Fe sebanyak 0,34%. Fe juga terdapat dalam mioglobin, hati, limpa dantulang. Fe dalam serum darah terdapat dalam bentuk non hemoglobin yang disebuttransferrin atau siderophilin. Pada individu normal hanya 30-40% transferrinyang membawa Fe, dalam keadaan normal plasma darah mengandung 240 – 480 mcg% ;pada sapi dewasa 130 – 140 mcg% ( Church, 1991 ).
Tembaga ( Cu )
Mineral Cu adalah salahsatu mineral yang seiring dilaporkan defisien pada ternak ruminansia. MenurutMcDowell ( 1992 ), defisien Cu dapat menyebabkan mencret, pertumbuhanterhambat, perubahan warna pada rambut dan rapuh serta mudah patahnya tulang –tulang panjang. Defisiensi sekunder mineral mikro sering dialami oleh ternakruminansia walaupun ternak diberi suplemen mineral dalam jumlah yang mencukupikebutuhan ( Kardaya et al., 2001 ).
Yoidum / iodium (I) : Mineral iodium ini berfungsi untuk proses pembentukan otak dengan cara pembentukan zat tirosin pada kelenjar tiroid
Phospor ( P) : Mineral ini berperan dalam pembentukan  tulang dan gigi ternak
Cobalt (Co) : Berfungsi sebagai pembentukan pembuluh darah
Chlor ( Cl) : Berfungsi sebagai pembunuh bibit penyakit yang ada dalam lambung
Sulfur atau Belerang : Memiliki andil dalam membentuk protein dalam tubuh
 Mangaan ( Mn ) : Mineralini Berfungsi untuk mengatur pertumbuhan ternak dan system reproduksi


Senin, 25 Juli 2016

Penyebab, Pencegahan dan Pengobatan Diare pada Ternak



Penyebab, Pencegahan dan Pengobatan Diare pada Ternak

Diare pada ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, kelinci, unggas, ayam, itik, bebek, angsa, kelinci, kucing, anjing, dll) bukan merupakan sebuah penyakit, tapi lebih merupakan tanda atau gejala klinis dari sebuah penyakit yang lebih komplek yang bisa disebabkan oleh berbagai hal.Diare pada ternak, seperti pada manusia, dapat terjadi ketika pergerakan cairan tubuh dalam sistem pencernaan mengalami gangguan. Biasanya selalu berakibat kehilangan cairan atau dehidrasi. Cairan tubuh yang keluar ini juga membawa serta garam garam mineral atau elektrolit. Sayangnya, kehilangan ini akan merubah keseimbangan kimiawi tubuh yang pada akhirnya akan menimbulkan stress dan depresi, yang dapat berujung pada kematian. Rehidrasi, sebuah terapi pada ternak dengan memberikan air dan suplemen elektrolit dapat membantu meredakan efek diare dan memulihkan keseimbangan tersebut.

Secara umum, diare dibagi dua kategori, diare yang dibebabkan oleh ketidakseimbangan nutrisi (non-infeksius) dan diare yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme.

Diare Non-Infeksi
Biasanya disebabkan oleh perubahan (yang mendadak) dari program pemberian pakan.
Bisa terjadi ketika pedet yang asalnya mengkonsumsi susu sebagai satu satunya sumber nutrisi, tumbuh dewasa dan mulai makan serat kasar atau hijauan sebagai suplemen. Atau bisa juga terjadi ketika pemberian susu buatan (CMR - Calf Milk Replacement) tidak sesuai takaran, terlalu dingin atau bahkan basi.

Meskipun seringkali tidak sangat berbahaya dan tidak sampai menyebabkan kematian, diare non-infeksi ini (terutama pada sapi muda/pedet) dapat dengan cepat melemahkan tubuh yang pada gilirannya dapat menyebabkan ternak rentan terkena diare infeksi atau penyakit lain yang lebih parah.
Diare Infeksi
Diare jenis ini merupakan masalah terbesar terutama pada sapi pedet. Bisa disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau protozoa. Oleh sebab itu, identifikasi terhadap sumber penyebab diare merupakan sebuah langkah penting dalam membuat program pencegahan diare.

Infeksi Bakteri
Bakteri ini menghasilkan semacam protein yang bersifat racun yang dapat menganggu dinding usus. Ternak memberi reaksi terhadap racun ini dengan memompa air dalam jumlah banyak ke sistem usus dengan tujuan untuk membilas atau menyiram racun ini. Beberapa bakteri yang bertanggung jawab terhadap infeksi ini adalah berasal dari jenis E. coli, Salmonella, dan Clostridium.
Escherichia coli
E. coli sebetulnya merupakan jenis mikroorganisma yang biasa dari terdapat dalam sistem pencernaan ternak. Banyak dari strain E. coli sama sekali tidak berbahaya, tapi beberapa jenis dapat menyebabkan diare parah dan bahkan kematian. Biasanya E. coli akan menyebabkan jaringan epitel dalam usus berubah fungsi, dari mode penyerapan (nutrisi) menjadi mode pengeluaran. E. coli juga seringkali dituduh menjadi penyebab utama diare pada sapi.

Sekurangnya ada 3 jenis E. coli yang dapat dikemukakan.

  1. Enteric - Ini jenis yang paling umum. Tanda klinis utama adalah diare hebat. Pedet dengan cepat menjadi lemas dan mengalami dehidrasi. Biasanya diawali dulu dengan demam yang kemudian dengan cepat kembali normal, atau mendekati normal. Dapat menyebabkan kematian.
  2. Enterotoxigenic - Disebabkan oleh bakteri E. coli dari jenis K-99. Infeksi dari strain ini berakibat fatal. Racun menyebabkan cairan yang dipompa ke dalam usus sedemikian banyak sehingga pedet biasanya mati bahkan sebelum gejala diare (mencret) muncul. Diare seperti ini adalah salah satu yang diare yang dapat muncul pada umur pedet dibawah 3 hari.
  3. Septicemic - Jenis ini bekerja mirip bakteri Salmonella. Metodanya adalah dengan menginfeksi aliran darah dan masuk kedalam jaringan tubuh sehingga menyebabkan infeksi global. Luka dan jejak dari infeksi bakteri jenis ini biasanya tidak tampak secara jelas. Ini merupakan jenis E. coli yang ganas, seringkali menyebabkan kematian tanpa gejala klinis diare terlebih dahulu. Pedet yang tidak mendapat atau dihentikan pemberian kolostrum, biasanya mati karena jenis septisemik ini.

E. coli biasanya menjangkiti pedet yang baru berusia dibawah 14 hari, banyak kasus terjadi pada usia kurang dari 1 minggu. E. coli sering ditemukan sebagai infeksi lanjutan dari infeksi rotavirus dan coronavirus.

Perlu diingat bahwa kurang lebih hanya 60% cairan elektrolit yang dapat diserap oleh pasien, pengobatan yang efektif memerlukan peningkatan frekuensi pemberian untuk menggantikan cairan dan elektrolit yang hilang karena diare. Ketika 40% dari cairan tersebut hanya ‘numpang lewat’ di tubuh ternak, diare bisa tampak lebih parah walaupun sebenarnya pengobatan yang efektif sedang berjalan.

Di pasaran sudah tersedia vaksin baru untuk E. coli. Vaksin ini mengandung antigen K99 yang dapat memberikan kekebalan terhadap berbagai jenis E. coli. Vaksin diberikan pada induk pada 6 minggu dan 3 minggu sebelum melahirkan. Tersedia juga vaksin yang merupakan kombinasi vaksin E. coli, rota dan coronavirus. Vaksin ini membantu pembentukan tingkat antibodi yang tinggi di kolostrum, tapi pedet harus mendapat kolostrum sesegera mungkin setelah dilahirkan agar vaksin dapat bekerja efektif.
Salmonella
Menyerang lapisan lendir dalam usus kecil, menyebabkan peradangan dan pengikisan pada lapisan usus. Bakteri ini dapat menyerang aliran darah, persendian, otak, paru paru dan hati. Lebih jauh, ternak yang terinfeksi dapat menyebarkan bakteri ini dalam kotoran/faeces, urine, saliva dan cairan hidung. Bakteri yang tinggal dalam media media tersebut dapat hidup sampai bilangan bulan.

Sumber infeksi Salmonella pada pedet dapat berasal dari sesama ternak sapi, burung, binatang pengerat, air, manusia dan air susu yang berasal dari sapi terinfeksi. Infeksi yang paling umum adalah berasal dari bakteri Salmonella typhimurium.
Diare yang timbul biasanya cukup parah, ternak tidak mau minum susu atau CMR, dehidrasi berat dan demam tinggi. Kotoran berair dan seringkali terdapat bercak darah. Tingkat kematian pada pedet yang terinfeksi salmonella sangat tinggi, biasanya terjadi pada 12 - 48 jam setelah tanda tanda pertama muncul.

Infeksi salmonella pada pedet dapat terjadi pada semua tingkat usia, tapi biasanya terjadi pada usia diatas 6 hari. Mengingat ada lebih dari 1000 jenis bakter Salmonella, selain itu banyak isolat yang ditemukan merupakan jenis yang sangat tahan terhadap pola pola antimikroba. Oleh sebab itu tes khusus (bacteriologic sensitivity test) sangat kritis untuk menentukan jenis antibiotik yang diberikan.
Clostridium perfringens
Bakteri Clostridium dari tipe B, C dan D ini dapat menyebabkan enterotoxemia, sebuah infeksi usus yang akut. Clostridium perfringens secara normal ditemukan pada usus sapi dewasa dan dapat bertahan hidup cukup lama di tanah. Kondisi perubahan program pakan yang secara mendadak yang dimakan berlebih dapat mengakibatkan proses pencernaan makanan yang kurang sempurna, memperlambat pergerakan usus, menproduksi gula, protein dan konsentrasi oksigen yang rendah yang berujung pada lingkungan yang cocok untuk mempercepat pertumbuhan bakteri Clostridium. Kondisi basah dan lembab juga terlihat diinginkan oleh bakteri ini.

Pedet yang terinfeksi menunjukkan gejala gelisah. Seringkali disertai ketegangan dan tendangan pada bagian perut. Pedet seringkali ditemukan telah mati tanpa gejala apa apa. Biasanya terjadi pada usia kurang dari 10 - 14 hari. Infeksi Clostridial ini tidak terlalu umum dijumpai pada pedet. Pun demikian, penyakit ini dapat dikendalikan dengan memvaksinasi induk sapi dengan Clostridium perfringens toxoid pada 60 sampai 30 hari sebelum melahirkan. Selanjutnya satu dosis booster harus diberikan setiap tahun sebelum melahirkan. Apabila masalah ini di diagnosa pada pedet yang dilahirkan dari induk yang belum di imunisasi, antitoxin dapat langsung diberikan pada pedet. pemberian antitoxin dan antibiotik secara oral dipandang sebagai satu satunya pengobatan yang efektif.
Infeksi Virus
Virus menyerang lapisan sel usus kecil yang mengganggu proses penyerapan. Virus masuk kedalam sel dan menggunakan bahan bahan sel tersebut untuk reproduksinya. Ketika sel yang menjadi tempat berkembang biak penuh oleh virus, sel tersebut pecah dan mengeluarkan virus virus baru untuk menyerang sel lain lebih banyak.

Infeksi yang disebabkan virus menyebabkan pedet menjadi lebih rentan terhadap serangan infeksi bakteri lain. Rotavirus dan Coronavirus memiliki cara kerja yang sama dan merupakan “tertuduh” utama pada kasus diare pada pedet. Kedua organisme tersebut banyak terdapat pada sapi dewasa dan paparan pada sapi sapi muda menjadi sangat umum.

Gejala yang ditimbulkan adalah mencret parah, hampir tidak ada demam, depresi dan dehidrasi hebat. Seringkali terjadi pengeluaran saliva (air liur) dan sering mengejan.
Biasanya terjadi sampai pada 10 - 14 hari sejak kelahiran, khususnya 10 hari pertama. Seringkali terdapat kompilikasi serangan lain dari bakteri seperti E. coli. Pada kasus ini antibiotik tidak efektif terhadap virus, tapi dapat membantu melawan infeksi bakterinya.

  1. Rotavirus - Dapat mengakibatkan diare pada pedet dalam 24 jam setelah dilahirkan. Dapat menulari ternak berusia 30 hari atau lebih. Pengeluaran saliva, dan diare hebat. Kotoran dapat berwarna kuning sampai hijau. Kehilangan nafsu makan dan tingkat kematian dapat mencapai 50 persen, tergantung pada kehadiran infeksi lanjutan dari jenis bakteri lain.
  2. Coronavirus - Terjadi pada pedet usia 5 hari atau lebih. Dapat menulari pedet yang berusia 6 minggu atau lebih.

Tingkat depresi tidak setinggi infeksi oleh rotavirus. Pada awalnya, feces ternak akan menunjukkan bentuk dan warna yang sama dengan infeksi rotavirus. Setelah beberapa jam, feces dapat mengandung lendir bening yang menyerupai putih telur. Diare dapat terus berlangsung selama beberapa hari. Tingkat kematian akibat coronavirus berkisar antara 1 sampai 25 persen.

Tanda luka seringkali tidak jelas. Biasanya usus penuh oleh feces cair. Apabila tanda luka terlihat di dalam usus, itu biasanya diakibatkan oleh infeksi bakteri lanjutan.
Diagnosis yang akurat hanya dapat ditentukan melalui pemeriksaan laboratorium.

Vaksinasi yang spesifik untuk rota dan coronavirus sudah tersedia. Dapat diberikan dengan dua cara, oral segera setelah pedet dilahirkan, atau vaksinasi terhadap induk sapi hamil.
Program vaksinasi pada induk sapi ini biasanya dilakukan beberapa kali. Pada tahun pertama program, vaksin pertama diberikan pada 6 - 12 minggu sebelum kelahiran, dan yang kedua sedekat mungkin dengan waktu kelahiran. Kemudian pada tahun selanjutnya, si induk diberikan booster vaksin sebelum melahirkan. Apabila periode melahirkan terlambat lebih dari 6 - 8 minggu, induk yang belum melahirkan di akhir minggu ke-enam diberikan booster vaksin kedua.

Dengan mengikuti prosedur ini, dapat dipastikan bahwa pedet yang dilahirkan mendapat antibodi rota dan coronavirus yang tinggi dalam kolostrum.
Bovine Virus Diarrhea (BVD) juga merupakan agen virus yang dapat menyebabkan diare.
Meskipun secara umum jarang dijumpai pada pedet muda atau baru lahir. Antibodi yang berasal dari kolostrum induk yang divaksin BVF sangat membantu melindungi pedet. Pedet yang baru dilahirkan dan terkena infeksi BVD ini dapat mengalami demam tinggi, nafas yang tersengal sengal dan diare parah. BVD seringkali ditemukan bersama agen infeksius yang lain.

BVD dapat dikendalikan dengan melakukan vaksinasi terhadap sapi sapi dara (heifer) 1 atau 2 bulan sebelum di kawinkan.

Infeksi Protozoa
Di Amerika Serikat, Coccidia & Cryptosporidia banyak ditemukan di hampir semua kumpulan populasi sapi. Organisme ini masuk kedalam tubuh melalui makanan dan air yang terkontaminasi dan dapat hidup dalam kondisi dormant (suri) di tanah dan kotoran ternak selama 1 tahun.

Ketika sampai di dalam usus, telur (oocyst) dari protozoa ini menetas dan berkembang biak. Menempel dan masuk ke dalam jaringan sel pada lapisan usus, menghambat pencernaan dan penyerapan makanan.

Gejala infeksi subklinis kronis tidak begitu jelas, biasanya ternak menderita dan mengurangi konsumsi pakan sehingga pertumbuhan terhambat. Infeksi akut menyebabkan diare (terkadang disertai darah), depresi, kehilangan berat badan dan dehidrasi. Tapi biasanya pedet tetap makan.

Coccidia memiliki siklus hidup 21 hari. Sehingga pada pedet usia dibawah itu (18 - 19 hari) jarang yang terinfeksi. Cryptosporidia biasanya ditemukan pada pedet usia 7 - 21 hari. Secara umum menginfeksi bersama rotavirus, coronavirus dan E. coli.

Ada jenis protozoa lain yaitu Giardia yang baru sejak beberapa tahun lalu cukup banyak ditemukan infeksinya. Infeksi banyak ditemukan terutama pada pedet usia 3 sampai 5 minggu.
Bagaimana Mencegah diare pada ternak ?
Seperti telah dikemukakan diatas, diare (sapi, kerbau, kuda, kambing, kelinci, unggas, ayam, itik, bebek, angsa, kelinci, kucing, anjing, dll) bukan penyakit sebenarnya, tapi lebih merupakan tanda tanda klinis dari penyakit yang lebih kompleks. Setelah kita mengetahui apa penyebab diare tersebut, harapannya usaha pencegahan akan lebih mudah dilakukan.
Untuk diare yang disebabkan oleh non-infeksi, yang harus dilakukan kiranya adalah melakukan manajemen pemberian pakan yang baik, sangat tidak dianjurkan untuk merubah menu pakan secara mendadak dan drastis. Baik jenis maupun volumenya. Lakukan perubahan menu secara gradual dan perlahan lahan.

Penelitian moderen menunjukkan bahwa diare pada pedet berhubungan erat dengan asupan kolostrum pada pedet yang baru lahir. Pedet yang diasuh dengan baik dan mengkonsumsi 1 - 2 liter kolostrum maksimal 30 menit setelah dilahirkan menyerap tingkat antibodi yang lebih tinggi. Pedet seperti ini lebih tidak rentan terhadap diare atau penyakit yang biasa menyerang anak sapi.

Selanjutnya terapkan juga manajemen kandang dan perawatan yang baik, misalnya:

  • Pisahkan sapi dara dan sapi yang lebih dewasa, tingkat imunitas dari pedet yang dilahirkan sapi dara secara umum lebih rendah daripada pedet yang dilahirkan sapi dewasa.
  • Hindari tempat melahirkan yang basah dan lembab, proses kelahiran dapat dilakukan di padang penggembalaan apabila cuaca dan tempat memungkinkan. Lingkungan ideal untuk melahirkan adalah padang/lapangan rumput yang tidak terlalu curam, tersedia penahan angin (windbreak), cuaca hangat dan kering. Ingatlah bahwa penyebab diare adalah udara lembab, dingin, basah dan lingkungan yang kotor.
  • Apabila melahirkan di tempat yang sempit, apabila kondisi memungkinkan, pindahkan induk dan anak ke lapangan rumput yang bersih segera setelah melahirkan. Lindungi pedet (dengan kandang portable) dari udara dingin, hujan atau serangan binatang buas
  • Isolasi pedet yang diare secepat mungkin. Bersihkan dan desinfeksi lingkungan kandang. Isolasi sedini mungkin sangat kritis untuk menghindari penyebaran diare pada pedet lain.
  • Pastikan induk dan anak dalam kondisi yang baik, terapkan program pakan dan nutrisi untuk memastikan ternak tumbuh sehat dan kuat.
  • Berikan larutan iodine (betadine, atau minimal obat merah) pada ari ari pedet, sedini mungkin setelah dilahirkan.
  • Minta saran dokter atau mantri hewan mengenai vaksinasi atau perawatan kesehatan yang dapat diberikan
  • Karena masalah utama dari pedet yang diare adalah kehilangan cairan, maka tindakan terhadap pasien yang pertama harus ditujukan untuk memperbaiki kembali keseimbangan cairan tubuh. Selanjutnya adalah tindakan pemberian antibiotik dan perawatan yang baik.
  • Cairan (dalam hal ini air) sangat penting, tapi harap di ingat, selain cairan, diare juga menghilangkan garam garam elektrolit. Dan tanpa elektrolit dalam proporsi yang seimbang, cairan saja tidak dapat diserap tubuh.
  • Sekira 70% dari bagian tubuh pedet terdiri dari air. Tanda tanda klinis dehidrasi biasanya mulai terjadi saat 5 - 6 persen cairan tubuh hilang. 10 persen kehilangan cairan berakibat depresi, mata sayu, kulit kering dan sangat mungkin pedet tidak bisa berdiri. Pada 15 persen, biasanya berakibat kematian.
  • Konsultasikan dengan dokter atau mantri hewan anda mengenai elektrolit yang dapat diberikan secara oral.

Apabila cairan elektrolit tidak tersedia, anda dapat membuat sendiri. Formula yang penulis pernah coba dan cukup mudah membuatnya adalah:

Resep Cairan Elektrolit untuk Diare

  • 3 kotak kecil kaldu sapi instan. Atau bisa juga menggunakan 1 sachet kaldu sapi
  • 1 sachet agar agar bubuk, merek burung camar
  • 2 sendok garam
  • 2 sendok soda kue/baking soda/sodium bicarbonate/NaHCO3

Campurkan bahan diatas dengan air hangat hingga mencapai 2 liter. Berikan perlahan lahan, 1 liter larutan elektrolit ini setiap 3 - 4 jam. Jangan dulu berikan susu, minimal 24 jam setelah pemberian elektrolit, karena susu merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan bakteri E. coli. Apabila pedet sudah bisa minum dari dalam ember (sebaiknya diajarkan sedini mungkin), biarkan pedet meminumnya, tapi awasi jangan sampai terlalu cepat. Bila tidak, buatlah botol dot dengan cara membuat dari botol air mineral kemasan 1 liter. Beri selang yang dimampatkan di ujungnya. Beri lubang sedikit agar cairan dapat keluar perlahan lahan.

Secara umum, selain kehilangan cairan, kondisi diare menyebabkan sistem pencernaan menjadi asam. Oleh karenanya selain terapi cairan dan elektrolit, perlu juga diberikan larutan suspense alkali. Yang dalam resep diatas berupa soda kue. Bila tidak tersedia, kiranya 2 liter air hangat ditambah 2 sendok makan garam pun dapat membantu.
Selain resep diatas, ada beberapa resep lain yang dipercaya masyarakat dapat digunakan untuk menangkal diare pada sapi, baik sapi pedet maupun sapi dewasa.

Pasien diberi daun pangi, daun sirsak, daun pisang atau campuran 10 cc getah pepaya dengan 100 cc air. Ada juga yang mempercayai bahwa daun nangka bisa berkhasiat menghentikan diare.

Perlu di ingat bahwa tindakan tindakan ini hanya untuk membantu meredakan diare, bukan untuk mengobati infeksi (bila ada) yang terjadi. Konsultasikan selalu dengan dokter atau mantri hewan anda untuk tindakan selanjutnya atau perawatan antibiotik.

Catatan Akhir
Masalah diare merupakan masalah yang akan terus terjadi pada ternak sapi perah, terutama pada sapi muda dan pedet. Program pemberian nutrisi yang cukup, sanitasi kandang dan manajemen serta perawatan kesehatan yang baik dibutuhkan untuk meminimalisasi impak dan kerugian. Diagnosis dini dan tindakan yang cepat akan sangat membantu.

Selain itu recording dan pencatatan merupakan hal yang mutlak diperlukan. Sebisa mungkin catatlah kejadian dan tindakan yang telah diberikan pada ternak, untuk memudahkan diagnosa dan tindakan di kemudian hari.

Diare non infeksi biasanya disebabkan oleh perubahan (yang mendadak) dari pemberian pakan. Umumnya terjadi ketika pedet yang umumnya minum susu dari induk diganti dengan susu buatan tidak sesuai takaran, terlalu dingin, atau sudah basi. Sedangkan diare infeksi oleh bakteri umumnya adalah E. Coli, Salmonella, dan Clostridium perfringens. Diare karena E coli dapat terjadi secara parah bahkan menyebabkan kematian. Tanda-tanda yang terjadi yaitu pedet lemas karena dehidrasi, demam, kotoran encer tentunya. Ecoli biasanya menyerang pedet yang baru berumur di bawah 14 hari.

Penyebab selanjutnya samonella yang menyerang lapisan lendur dalam usus kecil, menyebabkan peradangan dan pengikisan pada lapisan usus. Bakteri yang ada dalam feses pedet dapat hidup sampai beberapa bulan. Diare yang timbul cukup parah, ternak tidak mau minum, dehidrasi berat dan demam tinggi. Kotoran tentunya berair dan dapat disertai bercak darah. Pedet dapat matidalam waktu 12 – 48 jam setelah tanda-tanda pertama muncul. Infeksi ini umumnya terjadi pada pedet umur di atas 6 hari.

Bakteri clostridium menyebabkan enterotoxemia sebuah infeksi usus akut. Clostridium dapat hidup bertahan cukup lama di tanah. Kondisi basah dan lembab sangat disukai oleh bakteri ini. Tanda-tanda pada pedet antara lain gelisah, ketegangan dan menendang-nendang bagian perut. Pedet dapat terjadi mati tanpa gejala apapun yang terjadi pada umur kurang dari 10 – 14 hari.

Infeksi virus yang umumnya menyebabkan diare adalah Rotavirus, Coronavirus dan Bovine Virus Diarrhea (BVD). Virus menyerang lapisan sel usus kecil sehingga mengganggu proses penyerapan. Infeksi virus ini menyebabkan pedet rentan oleh serangan infeksi bakteri seperti E. Coli. Tanda-tanda penyakit yang timbul mencret parah, depresi dan diare hebat. Seringkali terjadi pengeluaran air liur dan sering mengejan . Rotavirus dapat megakibatkan diare pedet dalam waktu 24 jam setelah di lahirkan. Tanda yang khas feses berwarna kuning sampai hijau. Pada infeksi Coronavirus tingkat depresi tidak setinggi Rotavirus. Pad awalnya feses seperti Rotavirus setelah beberapa jam feses dapat mengandung lendir bening yang menyerupai putih telur. Pedet baru lahir yang terkena BVD dapat mengalami demam tinggi, nafas tersengal-sengal dan diare parah. Infeksi sering kali ditemukan bersama agen infeksius lain.

Infeksi Protozoa dapat terjadimelalui makanan dan iar yang terkontaminasi dan dapat hidup dorman di tanah dan kotoran ternak selama 1 tahun. Gejala infeksi yaitu diare (terkadang disertai darah), depresi, dehidrasi dan turunnya berat badan.
Selanjutnya bagaimana pencegahan diare?. Melihat dari uraian diatas untuk diare non infeksi tentunya perlu dilakukan menejemen pemberian pakan yang baik, hindari perubahan pakan secara mendadak dan drastis. Baik jenis maupun volumenya. Lakukan perubahan secara bertahap dan perlahan. Usahakan kandang bersih dan kering, berikan larutan iodin pada ari-ari pedet sedini mungkin setelah melahirkan. Bila perlu mintalah saran pada dokter hewan tentang program perawatan kesehatan hewan yang diberikan.

Minggu, 17 Juli 2016

RETENSI PLASENTA


RETENSI PLASENTA

Plasenta terdiri dari dua bagian, yaitu plasenta foetalis (allanto khorion) dan plasenta maternalis atau endometrium.

Pengertian Retensi Plasenta

Pada peristiwa kelahiran yang normal, selaput fetus (sekundinae) akan keluar dari alat kelamin induknya dalam waktu 1-12 jam setelah kelahiran anaknya.
mau software gratis :klik disini
Penyebab Retensi Plasenta

1. Gangguan mekanis (kasus 0.3%), yaitu selaput fetus yang sudah terlepas dari dinding uterus tetapi tidak dapat terlepas dan keluar dari alat kelamin karena masuk ke dalam kornu uteri yang tidak bunting, atau kanalis cervikalis yang terlalu cepat menutup, sehingga selaput fetus terjepit.

2. Selaput fetus tersangkut pada tangkai karunkula yang besar, mungkin juga karena celah pada mukosa uterus cepat mengecil sehingga jonjot khorion makin terjepit.

3. Induknya kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan plasenta setelah melahirkan disebabkan adanya atoni uteri pasca melahirkan dan defisiensi hormon yang menstimulir kontraksi uterus pada waktu melahirkan, seperti oksitosin dan estrogen.

4. Gangguan pelepasan sekundinae dari karunkula induknya. Ini adalah kasus yang paling sering terjadi
Gangguan pelepasan sekundinae, dibagi menjadi 2 faktor, yaitu infeksi dan non infeksi.

1. Retensi plasenta disebabkan adanya radang yang akut, disertai adanya infiltrasi lemak dalam plasenta, misalnya plasentitis atau kotiledonitis.
Brucella abortus
Tubercullosis
Campylobacter foetus
Berbagai jamur
Menyebabkan plasentitis dan kotiledonitis yang mengakibatkan abortus atau kelahiran patologik dengan retensi plasenta.

2. Retensi plasenta dapat disebabkan faktor yang bukan peradangan, (non infection). Termasuk golongan penyebab ini adalah:
a. Terlalu cepat melahirkan (partus prematura)
b. Faktor alergi
c. Induk yang kekurangan vitamin dan mineral selama bunting
d. Pemberian obat penguat yang diberikan menjelang partus

Akibat retensi plasenta pada ternak khususnya pada sapi:
30% akan mati atau dipotong
20% induknya menjadi steril terutama pada retensi plasenta yang pertolongannya terlambat
50% induknya menderita steril sementara pada pertolongan yang lebih cepat dilakukan, yang kemudian dapat sembuh dengan kesuburan yang normal.

Gejala

1. Selaput fetus yang menggantung di luar alat kelamin
2. Bibir vulva menjadi bengkak dan berwarna kemerah merahan, ada titik-titik merah pada mukosanya.
3. Plasenta dapat menutupi pintu ke luar saluran kencing (meatus urinarius), sehingga induk susah kencing.
4. Kadang - kadang ada rasa sakit perut, ekor di gerak gerakkan, bagian belakang kaki menjadi kotor, terlihat adanya kontraksi uterus yang lemah
5. Bau yang spesifik dari alat kelaminnya (bau plasenta yang mulai busuk)
6. Kesehatan induk terganggu dan kelihatan depresi, produksi air susu dapat menurun karena nafsu makan menurun, respirasi cepat, suhu tubuh menjadi meningkat
7. kotoran berwarna coklat keluar dari alat kelamin sehingga mengotori ekor, pantat, dan kaki bagian belakang

Komplikasi yang sering terjadi antara lain:

1. Metritis atau metro-peritonotis bila terjadi luka besar atau robeknya dinding uterus sewaktu pertolongan retensi plasenta.
2. Vaginitis kronis atau vagina berisi kotoran (leukorue) bila terjadi peradangan atau luka pada vagina.
3. Tetanus dapat terjadi akibat masuknya kuman tetanus dari lantai kandang, melalui plasenta yang keluar masuk alat kelamin sewaktu induk berbaring dan berdiri.

Diagnosa

1. Berdasarkan adanya plasenta yang keluar dari alat kelamin. Bila plasenta hanya tinggal sedikit dalam alat kelamin, diagnosa dilakukan dengan eksplorasi vaginal memakai tangan dengan terabanya sisa-sisa plasenta atau kotiledon yang teraba licin karena masih terbungkus oleh selaput fetus
2. Karunkula yang sudah terbebas dari dari lapisan plasenta, akan teraba seperti beludru.

Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah untuk mendorong terjadi kontraksi uterus sehingga menyebabkan keluarnya plasenta.
Penyuntikan sub kutan atau intra muskuler hormon oksitosin dengan dosis 100 IU adalah untuk pengobatan pada hewan besar
Domba, kambing, dan babi dosisnya 30-50 IU, disuntikkan subkutan
Anjing, kucing dengan dosis 5-30 IU (menurut berat badan anjing dan kucing), disuntikkan subkutan.

Pengobatan lain pada sapi dengan preparat dietilstibestrol dalam larutan minyak sebanyak 15-60 mg secara intramuskuler dan diulangi selama 4 hari.
Domba, kambing dan babi dosisnya adalah 0,5 mg suntikan intramuskuler.
Pertolongan lain dapat dilakukan dengan pengeluaran plasenta secara manual. Pelepasan plasenta dilakukan bila hubungan antara selaput fetus dan karunkula mudah dipisahkan. Dianjurkan pelepesan dilakukan sebelum 48 jam pasca lahir.

Bila ada infeksi, maka setelah mengeluarkan plasenta diadakan pencucian dengan larutan antiseptis intra uterina seperti rivanol 1% atau larutan antiseptis lain.

Untuk mencegah metritis setelah plasenta di keluarkan, pada sapi dapat diberikan kombinasi penicillin sebanyak 1 juta IU dan dihirostreptoimicin 1 gram yang dilarutkan dalam akuades sebanyak 50 ml, selanjutnya larutan antibiotika ini dimasukkan ke dalam uterus.

Obat antibiotika lain padaretensi plasenta karena infeksi, adalah klortetrasiklin (aureomicin) dari 500 mg dalam bentuk bolus dan dimasukkan 2 bolus dalam uterus, oksitetrasiklin (terramisin) dalam kapsul sebanyak 250 mg, dimasukkan empat kapsul dalam uterus.

Rabu, 06 Juli 2016

PENYAKIT TERNAK RUMINANSIA


PENYAKIT TERNAK






RUMINANSIA
1. Agen-Agen Penyebab Penyakit
Agen penyakit pada ternak dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a) penyebab fisik
b) penyebab kimiawi dan
c) penyebab biologis.
 Penyebab penyakit akibat kimiawi maupun fisik merupakan penyakit yang bersifat tidak menular (non infeksius), sedangkan sebaliknya penyakit akibat biologis merupakan penyakit yang bersifat menular (infeksius).
A) Penyebab Fisik
Penyakit ternak yang disebabkan oleh agen fisik antara lain luka akibat benturan atau terjatuh karena lantai kandang yang licin pada sapi. Penanganan kasar oleh anak kandang sering kali menyebabkan luka-luka pada tubuh ternak.
B) Penyebab Kimiawi
Penyakit yang disebabkan oleh agen penyakit yang bersifat kimiawi antara lain : penyakit defisiensi dan keracunan. Penyakit defisiensi mineral, seperti kalsium menyebabkan pertumbuhan terhambat, konsumsi pakan turun, laju metabolik basal meningkat, aktivitas menurun dan osteoporosis. Defisiensi vitamin, misalnya vitamin D menyebabkan rachitis, terutama pada hewan muda dan osteomalasia pada ternak yang sudah sempurna tulangnya, namun diberi pakan dengan kadar vitamin D yang kurang dari kebutuhan Osteomalasia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh dekalsifikasi sebagian tulang sehingga mengakibatkan tulang menjadi lunak dan rapuh.
Keracunan bisa juga disebabkan oleh bahan-bahan anorganik, seperti : H2S, NH3, CH4, merkaptan dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut sebagai kontaminan yang dibebaskan dari kotoran ternak. Amoniak memiliki arti penting pada peternakan ayam oleh karena gas tersebut tersebar luas di peternakan dan memberikan andil yang cukup besar dalam mempengaruhi kesehatan ternak maupun dan manusia. 
Rumah Potong Hewan (RPH) juga merupakan sumber pencemaran, dimana biasanya berupa isi saluran pencernaan/feses dan bahan-bahan lain berupa sisa daging, lemak dan darah yang dibuang langsung ke sungai. Limbah tersebut mengandung N, P dan K serta kontaminan biologis yang berupa bakteri, jamur, virus, parasit, yang merupakan sumber infeksi yang bisa menular ke ternak lain dan banyak diantaranya bisa menyerang manusia (Dwi Rahayu, 2009).
Berikut merupakan contoh penyakit akibat kimiawi maupun fisik yang bersifat tidak menular (non infeksius) :
1. Indigesti Rumen Sarat ( asidosis rumen) 
Etiologi
Gangguan ini disebabkan karena sapi-sapi memakan bahan makanan penguat yang kayaakan karbohidrat secara berlebihan.. Selain itu juga karena kesalahan pengelolaan pakan,sapi-sapi yang terdiri dari berbagai umur yang dicampur dan mendapatkan jenis konsentratyang sama, sapi yang lebih kuat akan mendapat porsi jauh lebih banyak daripada yang lemah.Karena terlalu banyak memakan konsentrat yang terlalu tinggi karbohidratnya, seekor sapidapat menderita asidosis rumen. Kejadian rumen sarat banyak ditemui di lapangan dan terjadikarena kondisi hewan yang jelek dengan kualitas pakan yang kurang bermutu, yang kebanyakan terdiri dari serat kasar (jerami).
Patogenesis
Dalam keadaan normal, hasil pencernaan karbohidrat brupa asam lemak berantai pendek. Asam cuka ( 60-65%) dan asam susu, atau laktat yang jumlahnya kurang dari 20 mg %. Asam lain yang jumlahnya sedikit adalah asam semut, valerat, kaproat dan suksinat. Karena pergantian susunan pakan, dari susunan berimbang ke susunan yang kaya akankarbohidra, bakteri-bakteri gram coccos bovis berkembang biak dengan cepat, dan kemudian digantikan oleh bakteri Lactobacillus. Bakteri in akan menghasilkan asam susu yang berlebihan, sampai 20 %, hingga mampu menurunkan derajat keasaman normal (pH 6-7) menjadi asam sekitar pH 4. Pada saat yang sama histamin juga diproduksikan sebagai hasil dekarboksilasi histidin. Meningkatnya asam susu yang berlebihan mengakibatkan kenaikan kadar asam didalam darah, sehingga terjadi asidosis. Produksi histamin juga akan diserap oleh darah hingga menyebabkan toksemia.Pada derajat keasaman (pH) 5,5 sehingga dinding rumen jadi mudah mengalami lesi, yang selanjutnya merupakan pintu bagi bakteri patogen masuk ke jaringan lain melalui alirandarah. Sebagai akibat matinya bakteri-bakteri yang tidak tahan asam, produksi vitamin B1 juga menurun. 
Rumen yang pada awal kejadian indigesti berisikan cairan yang cukup, karenamenarik cairan dari jaringan lain, dalam waktu beberapa hari juga akan kekurangan cairan.,dengan akibat lebih lanjut rumen jadi sarat berisikan ingesta yang kering. Selanjutnya karena penurunan aliran darah pada dinding rumen dan retikulum, oleh karena meregangnya jaringan,tonusnya pun akan menurun, sel kekurangan nutrisi, hingga selaput lendir akanmengalami kematian (nekrobiosis) (Subronto, 2003).
Gejala Klinis
Gejala indigesti bentuk ini dimulai dengan adanya rasa sakit pada daerah abdomen. Hewan nampak lesu dan malas bergerak. Nafsu makan dan minum hilang. Rumen mengalamidistensi ke arah lateral maupun medial. Hewan juga selalu mengalami dehidrasi berat, yangditandai dengan keringnya cermin hidung, kulit dsan bulu tampak kering serta bola mata yangtenggelam di dalam rongga mata. Tinja hanya terbentuk sedikit, konsistensinya lunak seperti pasta, bercampur lendir, dan berwarna gelap dengan bau yang menusuk Oleh adanya asam yang berlebihan, asidosis, akan menyebabkan kenaikan frekuensi pernafasan. Kebanyakan kasus diikuti dengan kelemahan jantung kompensatorik, dengan pulsus piliformis yang frekuensinya sekitar 120-140 kali/.menit.Karena dehidrasi yang berat, urin yang terbentuk dan dikeluarkan sangat sedikit bahkan bisa terjadi anuria.
Terapi
Pada gangguan yang bersifat awal, dapat diberikan larutan magnesium sulfat atausodiumsulfat 1-2 kali. Antihistamin, seperti DelladrylR sebanyak 10-15 ml secara suntikan. Pemberian antibiotic secara oral, misalnya penisilin untukmengurangi jumlah Lactobacillus dengan dosis 10 juta unit untuk sapi, kemudian diulang 12 jam kemudian (Subronto, 2003).
Pada penderita yang mengalami dehidrasi dilakukan penggantian cairan yang hilang, jumlahnya sesuai dengan derajat dehidrasi. Untuk mengurangi asidosis dapat diberikanlarutan sodium bikarbonat 2,5% sebanyak 500ml secara intravena perlahan-lahan untuk menghindari alkaliemia, atau pemberian soda roti 250 gram peroral 2 kali/hari (Subronto, 2003).

2. Indigesti Sederhana atau Simpleks
Indigesti sederhana merupakan gangguan sindrom pencernaan yang berasal dari rumenatau reticulum, ditandai oleh hilangnya gerak rumen atau lemahnya tonus rumen hingga ingesta tertimbun di dalamnya dan serta juga ditandai dengan konstipasi.
Etiologi
Menurut Subronto (2003), kebanyakan kasus terjadi akibat perubahan pakan yangmendadak, terutama pada hewan muda yang mulai menyesuaikan diri untuk diberikan dengan baik akan tertimbun di dalam rumen, yang secara reflektoris mendorong rumenuntuk berkontraksi berlebihan. Akibat hal tersebut maka akan terbentuk asam laktat secara berlebihan yang kemudian menyebabkan gerakan rumen menjadi melemah. Dalam keadaan stasis rumen, pembentukan asam lemak volatile menjadi terhalang. Karena asam lemak tersebut diperlukan sebagai pembentukan air susu, dalam keadaan stasis rumen maka produksi susu akanmenurun.
Gejala Klinis
Penderita tampak lesu dan malas bergerak, nafsu makan hilang, sedangkan nafsu untuk minum. Pada awalnya frejuensi gerak rumen meningkat selama beberapa jam dan diikuti dengan penurunan frekuensi gerak dan tonus rumen. Pada palpasi rumen terasa ingesta lunak tapi tidak mencapai median dari rumen. Pembesaran rumen tidak terlalu berarti (Subronto, 2003).Pada umumnya frekuensi pernafasan dan pulsus masih dalam batas normalnya. Feses yang dikeluarkan biasanya hanya sedikit berlendir dan berwarna gelap dengan konsistensilunak.
Diagnosis
Penentuan diagnosis harus didasarkan pada data-data di atas. Dalam diagnosis banding perlu diperbandingkan dengan ketosis, retikulo peritonitis traumatika, dan dysplasia abomasa. Pada ketosis biasanya terjadi dalam waktu dua bulan pertama setelah kelahirandan disertai dengan kenaikan mencolok dari benda-benda keton dalam darah dan kemihnyaPada retikulo peritonitis traumatika gejala klinis yang ditemukan bersifat menonjol.Gambaran darahnya menunjukkan adanya perubahan radang akut. Dari dysplasia abomasaselain gejala-gejala tersifat, prosesnya juga berlangsung lebih lama (Subronto, 2003).
Terapi
Umumnya dapat sembuh dengan sendirinya, pemberian makanan penguat atau makanankasar hendaknya dihentikan sementara. Air minum yang ditambahi garam harus diberikan secara ad libitum. Untuk pengobatan dapat pula obat parasimpatomimetik seperti carbamyl-cholinedengan dosis 2-4 ml, disuntikkan subkutan pada sapid an kerbau dewasa untuk merangsanggerak rumen. Secara oral, preparat magnesium sulfat atau sodium sulfat, dengan dosis 100-400 gram dapat diberikan dengan aman.
3. Milk fever
Penyakit ini umumnya terjadi pada sapi perah. Kalsium esensial untuk hematologi, kontraksi otot dan metabolisme tulang 
Etiologi
Kadar kalsium darah di bawah normal (<7 mg/dl). Faktor karena produksi susu tinggi, ternak berusia tua, manajemen pakan masa kering kurang baik. Pada domba umumnya terjadi pada akhir kebutingan, sedangkan pada kambing terjadi sebelum partus sebagaimana pada domba atau pasca partus terutama pada kambing perah yang berproduksi tinggi. 
Gejala Klinis
Stadium awal (stadium eksitasi) hewan tampak kaku, tidak bergerak. Anoreksia. Gejala ini umumnya tidak begitu tampak karena berlangsung sangat singkat. Stadium dua (stadium sternal) hewan tidak mampu berdiri namun masih rebah sternal. Depresi, anoreksia, cuping hidung kering, suhu subnormal, ekstrimitas dingin. Stadium tiga (stadium terminal) hewan rebah lateral, lethargi, takikardia (120/menit), pulsus tidak terdeteksi, bloat. Kesadaran mulai hilang, tidak responsif terhadap rangsangan, koma. Gejala pada domba biasanya ambruk, paralisis. Namun kadang juga ditemukan tremor dan tetani. Rebah sternal sebagaimana terjadi pada sapi jarang ditemui pada domba. Gejala pada kambing mirip seperti pada domba. 
Terapi
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan Kurangi bloat yang terjadi. Sapi sebaiknya diposisikan rebah sternal. Berikan preparat kalsium seperti kalsium glukonat 23% 500 ml intravena. Pemberian kalsium sebaiknya secara perlahan dan periksa denyut jantung secara teratur. Bila terapi berhasil, maka sapi biasanya akan eruktasi, urinasi, defekasi dan berusaha bangun atau berdiri. Biasanya dalam 30 menit setelah terapi hewan akan berdiri. Bila perlu pemberian kalsium diulangi dalam12 jam. Pada domba atau kambing dapat diberikan kalsium buroglukonat 23% sebanyak 50-500 ml. Pencegahan dengan memberikan diet rendah kalsium saat masa kering setidaknya seminggu sebelum partus. Pemberian vitamin D3 menjelang partus. Pemberian kalsium yang cukup saat laktasi (Triakoso, 2010)
4. Grass Tetany 
Lactation tetany, hipomagnesia. Penyakit ini berkaitan dengan magnesium esensial dalam metabolisme, syaraf dan muskulus. 
Etiologi
Kadar mg darah di bawah normal (<1,5mg/dl). Output dan input magnesium tidak seimbang. Kadar kalium rumen meningkat akibat defisiensi natrium (garam). Absorbsi mg menurun bila intake kalium meningkat. 
Gejala Klinis 
Akut. Bersifat fatal, kematian mendadak tanpa gejala terutama pada sapi yang dikandang. Mulut dan hidung berbuih. Lantai kandang akibat merejan sebelum mati. Hewan menunjukkan gejala syaraf, jalan kaku, gallop, melenguh keras sebelum rebah dan tidak bisa bangkit lagi. Tidak respon terhadap rangsangan (sinar, suara, sentuhan), kejang, tetany, menendang. Nistagmus. Subakut. Gejala lebih ringan, tidak mampu mengerakkan kaki 3-4 hari.
Diagnosa
Produksi susu tinggi, stress lingkungan, kadar kadar mg hijauan kurang (muda), perubahan pakan kering ke hijauan muda.
Terapi
Pengobatan: Injeksi 1,6-2,7mg boroglukonas, garam klorid atau hipofosfit. Kombinasikan dengan kalsium. 0,04 ml/menit/kg 25% larutan mg (0,025 g/ml). Oral magnesium untuk pencegahan. Pencegahan : sapi berisiko (pakan hay atau hijauan muda stress lingkungan, produksi tinggi). Daerah intensif pemupukan (PK) (Triakoso, 2010).
5. Alkalosis RumenEtiologi
Etiologi
Karena diakibatkan oleh penggantian pakan dengan senyawa penghasil nitrogen darisenyawa non-protein, antara lain urea, biuret, dan garam ammonium. Senyawa tersebut umumnya digunakan sebagai pengganti protein, yang apabila digunakan secara berlebih dapat menyebabkan terjadinya alkalosis rumen yang disertai dengan intoksikasi (Subronto, 2003).
Patogenesis
Dalam rumen ruminansia, protein dan senyawa yang mengandung N (Non Protein Nitrogen) dimetabolisir hingga terbentuk ammonia yang merupakan konstituen utama daricairan rumen. Bila karbohidrat cukup tersedia sebagai substratnya, ammonia yang terbentuk berguna untuk pembentukan protein mikroba. Hidrolisis ureum oleh urease menjadi NH3 dan CO2, berlangsung cepat, kurang dari 1 jam. Peningkatan ammonia berakibat naiknya pH isi rumen manjadi 7,5-8,5 atau lebih. Kenaikan pH tersebut akan menyebabkan mati dan lisinya protozoa dan mikroorganismeyang tidak tahan suasana alkalis, dan terjadilah indigesti. Indigesti terjadi karena protozoa yang merupakan 20-50% dari massa mikroba rumen, atau 10% dari isi rumen, kematiannya akan memerostkan fermentasi dalam waktu 24-48 jam. Meningkatnya ion NH4diduga akan mengakibatkan terjadinya ikatan ion karbonat dalamhati, hingga terjadi rangsangan saraf-saraf perifer maupun otonom yang menyebabkantremor-tremor otot, hipersalivasi, kejang tetanik, maupun meningkatnya peristaltic usus.
Gejala Klinis
Gejala yang nampak adalah seperti gejala sarafi seperti, tremor pada otot-otot perifer, gigigemeretak dan hewan tak mampu berdiri. Kekejangan tetanik biaanya muncul tidak bersifatterus menerus. Pernafasan dangkal dan cenderung dipaksakan. Feses yang keluar bersifatseperti lendir dan dalam jumlah yang tidak banyak.
Diagnosa
Kalau pH tinggi protozoa akan mengalami kematian. Derajat keasaman7,5 atau lebihindikatif adanya keracunan atau rumen alkalosis. Kadar NH3-N sebesar 3-6 mg/dl indikatif untuk rumen alkalosis, yang mungkin karena keracunan urea.
Terapi
Untuk menetralkann isi rumen maka dapat diberikan larutan cuka (vinegar) 5% sebanyak 2-6 liter. Diberikan langsung intraruminal dengan sonde kerongkongan. Penyuntika MgSO4 untuk mengurangi kejang otot secara intra muscular juga dapat dilakukan.

6. Kembung Rumen (Meteorismus, Timpani Rumen, Bloat)
Etiologi
Faktor pakan yang termasuk dalam tanaman leguminosa antara lain alfafa dan ladino.Imbangan antara pakan hijau dan konsentrat yang tidak seimbang, serta tanaman yangdipanen sebelum berbunga(muda) dapat berpotensi terjadinya kembung rumen.keadaan sapi juga berpengaruh dalam timbulnya kembung antara lain factor keturunan dan susunan serta pH saliva yang pada normal dapat mencegah pembentukan busa berisikan gas.
Gejala Klinis
Tampak pembesaran rumen, menggembung pada daerah fossa paralumbar sebelah kiri.sapitampak menjulur-julurkan leher kedepan, tampak gelisah. Nafsu makan hilang. Pulsusmengalami peningkatan. Rumen mengalami distensi arah medial yang dapat diketahui dengan palpasi rectal. Pada perkusi atas daerah rumen akan ditemukan suara timpani.
Diagnosis
Ditentukan berdasarkan anamnesis, gejala klinis saat pemeriksaan, dan riwayat ganti pakansecara mendadak. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan keracunan insektisida fosfor organik, karbonat, chlorinated hydrocarbon, nitrat, sianida, strichnin, dan grain overload/asidosis rumen (Subronto, 2003).
Terapi
Dengan perlakuan trokarisasi atau pemberian obat karminativa. Karminativa merupakan obat yang dapat meningkatkan pengeluaran gas dari lambung (via eruktasi). Umumnya berupa minyak volatil yang mudah diekskresikan lewat paru-paru, ginjal, dan kulit. Contoh :
- terpentin  - camphor - pipermin
- ginger  - serbuk anisi - menthol
Mekanisme kerja: pada iritasi mukosa GI, merelaksasikan spingter kardia sehingga gas  keluar (Howard, 2006).
7. Indigesti dengan Toksemia
Etiologi
Karena adanya senyawa-senyawa amine. Senyawa yang berlebihan akan diserap oleh darah.
Patogenesis
Toksik dari senyawa yang berlebihan akan menyebar ke organ tubuh melalui darah. Sel hatimengalami keracunan akibat senyawa amine yang bersifat toksik. Gangguan metabolisme karbohidrat mengakibatkan penurunan kadar glukosa dalam darah. Peningkatan pemecahan protein akan terjadi peningkatan senyawa non protein nitrogen dalam darah. Hal ini akan mempengaruhi kerja setiap organ. Gangguan sirkulasi akan diikuti dengan gangguan pernafasan yang menagkibatkan lemahnya hewan penderita.
Gejala Klinis
Hewan mengalami kelemahan hingga tidak mampu berdiri. Mengalami anuria, nafsu makanmenurun, tidak ada aktifitas memamahbiak. Feses yang dikeluarkan berbentuk pasta dan berbaumenusuk (Subronto, 2003).
Diagnosis
Perlu dibedakan dari keracunan bahan-bahan anoganik dalam dosis subletal serta dari penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Clostridium botulinum dan Clostridium perfringens.
Terapi
Terapi yang diberikan biasanya bersifat simtomatik. Pemberian cairan elektrolit dan dextrose fisiologis. Diberikan pula obat yang merangsang ruminatoria dan pemberian anti histamin (diphenhidramin HCl).
C) Penyebab Biologis
Penyebab penyakit yang berupa agen biologis antara lain : bakteri, virus, jamur, protozoa dan metazoa. Pada umumnya penyakit virus bersifat sangat akut karena menimbulkan angka kematian yang tinggi bagi ternak dan penyakit ini tidak dapat diobati, hanya dapat dicegah dengan sanitasi dan vaksinasi. Pengobatan pada penyakit virus dengan antibiotik dimaksudkan tidak untuk membunuh virus, namun hanya bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri yang memperburuk kondisi ternak. Demikian pula pemberian vitamin dan cairan elektrolit pada penyakit virus bertujuan untuk mempertahankan kondisi tubuh ternak supaya tetap baik.
Penyakit bakterial pada ternak tidak selalu bersifat kronis. Tingkat keparahan penyakit sangat tergantung pada jenis dan jumlah bakteri yang menginfeksi. Penggunaan antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis bakteri yang menyerang bisa menghasilkan angka kesembuhan yang memuaskan, namun penggunaan antibiotik yang kurang tepat akan menyebabkan terjadinya resistensi dan meningkatkan residu antibiotik pada produk-produk ternak.
Penyakit parasit yang disebabkan oleh parasit internal meliputi penyakit parasit cacing, seperti nematodosis, trematodosis dan cestodosis. Contoh penting yang lain adalah coccidiosis yang disebabkan oleh protozoa. Penyakit-penyakit parasit eksternal, antara lain scabies atau kudisan yang sering menyerang ternak ruminansia, disebabkan oleh Sarcoptes scabiei. Penyakit-penyakit parasit eksternal lain yang secara ekonomis juga merugikan antara lain adalah caplak, kutu, lalat, pinjal tungau, dan lain-lain.
Berikut merupakan contoh penyakit akibat biologis yang bersifat menular (infeksius) :
1. BRUCELLOSIS (Keluron Menular)  
Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Sedangkan pada manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disevut Demam Malta. 
Kerugian ekonomi yang diakubatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa kluron, anak ternak yang dilahirkan lemah, kemudian mati, terjadi gangguan alat- alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporer atau permanen. Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu (Zulfikar, 2014).
Etiologi
Penyakit brucellosis atau penyakit keluron menular disebabkan oleh bakteri Brucella. Bakteri Brucella berbentuk kokobasil (short rods) dengan panjang 0,6-1,5 Âµm dan lebar 0,4-0,8 Âµm, bersifat Gram negatif, non motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan bersifat aerob. Karena tidak menghasilkan spora, bakteri Brucella mudah dibunuh dibawah sinar matahari namun apabila lingkungan jauh dari jangkauan sinar matahari maka bakteri ini dapat bertahan selama 6 bulan. 
Terdapat 6 spesies yang saat ini dikenal yaitu : B. melitensis, B. abortus, B. suis, B. neotomae, B. ovis, dan B. canis. Disebut penyakit keluron karena karakteristiknya dapat menyebabkan keguguran/abortion pada hewan bunting (Dharmojono, 2001).
Gejala Klinis  
1. Pada kambing mengalami keguguran dalam 4-6 minggu terakhir dari kebuntingan dan  Kambing jantan memperlihatkan kebengkakan pada persendian atau testes.
2. Pada sapi betina gejala keguguran, biasanya terjadi pada kebuntingan 5-8 bulan, kadang diikuti dengan kemajiran. Pada ternak jantan terjadi kebengkakan pada testes dan persendian lutut. Selain gejala utama berupa abortus dengan atau tanpa retensio secundinae (tertahannya plasenta), lesu, napsu makan menurun, kurus. Terdapat pengeluaran cairan bernanah dari vagina serta pada sapi perah dapat menyebabkan penurunan produksi susu. Perubahan pasca mati yang terlihat adalah penebalan pada plasenta dengan bercak- bercak pada permukaan lapisan chorion. cairan janin terlihat keruh berwarna kuning coklat dan kadang-kadang bercampur nanah. 
3.Pada ternak jantan ditemukan proses pernanahan pada testis yang dapat diikuti dengan  nekrose. 
Pencegahan 
1) Tindakan sanitasi yaitu :  
a. Sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius dihapus hamakan. Fetus dan plasenta harus dibakar dan vagina apabila mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu.
 b. Bahan-bahan yang biasa dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol, amonium kwarterner, biocid dan lisol. 
c. Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila seekor ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka penis dan preputium dicuci dengan cairan pencuci hama. 
d. Anak-anak ternak yang lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari ternak lain yang bebas brucelosis. 
e. Kandang-kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicuci dan dihapus hamakan serta ternak pengganti jangan segera dimasukkan.
2) Tata laksana
3) Vaksinasi  
Pengobatan 
Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis
2. ANTHRAK (Radang Limpa)  
Anthrax bersifat zoonosis dan merupakan penyakit yang menimbulkan keresahan bagi peternakan dan manusia. Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan kulit terluka, terutama pada orang- orang yang banyak berhubungan dengan ternak. Anthrax adalah penyakit menular yang biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, kuda, babi dan sebagainya), yang disertai dengan demam tinggi dan disebabkan oleh Bacillus anthracis. berbagai jenis ternak liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat pula terserang. Anthrax merupakan salah satu zoonosis yang penting dan sering menyebabkan kematian pada manusia. Di Indonesia anthrax menyebabkan banyak kematian pada ternak. Kerugian dapat berupa kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong. 
Etiologi
Penyebab penyakit anthrax adalah bakteri Bacillus anthracis. Faktor-faktor seperti hawa dingin, kekurangan makanan dan keletihan dapat mempermudah timbulnya penyakit pada ternak-ternak yang mengandung spora yang bersifat laten.
Penularan 
1. Anthrax tidak ditularkan dari ternak yang satu ke ternak yang lain secara langsung. Wabah anthrax pada umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut. 
2. Di daerah iklim panas lalat penghisap darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah penyakit. 
3. Rumput pada lahan yang tercemari penyakit ini dapat ditempati spora.  
Penyebaran
 1. Dari pakan yang kasar atau ranting-ranting yang tumbuh di wilayah yang terjangkit penyakit anthrax. bahan pakan ini menusuk membran di dalam mulut atau saluran pencernaan dan masuklah bakteri Bacillus anthracis tersebut melalui luka- luka itu. jadi melalui luka-luka kecil tersebut maka terjadi infeksi spora.
2. Penularan dapat terjadi karena ternak menelan tepung tulang atau pakan lain atau air yang sudah terkontaminasi spora. 
3. Gigitan serangga pada ternak penderita di daerah wabah yang kemudian serangga tersebut menggigit ternak lain yang peka di daerah yang masih bebas  
4. Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan kulit terluka, terutama pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan ternak. 
5. Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada pekerja-pekerja penyortir bulu domba (wool-sarter’s disease). 
6. Melalui pencernaan terjadi pada orang- orang yang makan daging asal ternak penderita anthrax.  
Gejala Klinis 
Terdapat tiga bentuk penyakit anthrax : 
1. Perakut: a. Penyakit yang sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena perdarahan di otak, b. sesak napas, c. Gemetar kemudian ternak rebah, d. Kejang-kejang. hanya dalam waktu 2-6 jam dapat mengalami kematian, dan e. Kematian dapat mencapai 100%.  
2. Akut:  a. Suhu badan meningkat (demam), b. Gelisah, c. Depresi d. Susah pernafasan, e. Jantung terlihat berpacu dengan cepat dan f. Lemah, g. Kejang-Kejang dan h. Segera mengalami kematian, i. Selama penyakit berlangsung, demamnya mencapai 41,50C. j. Produksi susu berkurang, k. Susu yang dihasilkan berwarna sangat kuning atau kemerahan, l. Terjadi pembengkakan pada tenggorok dan lidah, m. Kematian bisa mencapai 90% meski telah dilakukan pengobatan.
3. Kronis:  Gejala yang ditandai dengan adanya lepuh lokal terbatas pada lidah dan tenggorokan.
3. MASTITIS (Radang Ambing)  
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan  perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003). 
Mastitis sering terjadi pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, dimana kerugian kasus mastitis antara lain : kehilangan produksi susu,  kualitas dan  kuantitas susu berkurang, banyak sapi yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar dalam industri sapi perah.
Etiologi
1. Resistensi atau kepekaan sehingga terjadinya penurunan gen- gen untuk menentukan  ukuran dan struktur puting.
2. Terjadinya hambatan akibat aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing. 
3. Adanya berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, diantaranya jenis Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepedermicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa, serta yeast dan fungi juga sering menginfeksi ambing.
4. Faktor ternak dan lingkungann.
5. Faktor umur dan tingkat produksi susu.
Gejala Klinis
Secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara : 
1.  Akut: a. Kebengkakan ambing. b. Panas saat diraba, rasa sakit. c. Warna kemerahan dan terganggunya fungsi Fisiologinya. d. Air susu berubah sifat, menjadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin 
2. Subakut:  a. Radang bersifat subklinis apabila gejala- gejala klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. b. Derajatnya lebih ringan, c. Ternak masih mau makan, d. Suhu tubuh masih dalam batas normal. 
3. Kronic:  Proses ini berlangsung infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode berikutnya. biasanya berakhir dengan atropi kelenjar mammae.   
Cara Penularan 
Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari quarter terinfeksi ke quarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan lalat. 
Diagnosis 
1. Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu.
2. Perubahan warna air susu yang dihasilkan.
3. Pengujian lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test  (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus,  
4. Dengan Whiteside Test.   
Pencegahan 
1. Meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke  sapi lain, 
2. Meminimalisasi kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting. 
3. Penggunaan lap yang berbeda disarankan untuk setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan. 
4. Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi
bakteri penyebab mastitis.  
5. Dengan pemberian suplementasi vitamin E, A dan Î²-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu.
6. diupayakan untuk menekan kejadian mastitis.  
Pengobatan 
1. Pemberian antibiotik menggunakan jenis Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol dan golongan penicillin yang peka dengan dengan dosis yang dianjurkan. 
2. Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik secara intra mamaria.
3. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga untuk menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis. 
4. Injeksi dengan dedexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan. 
5. Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp. masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp. masih peka terhadap penicillin.
4. SEPTICEMIA EPIZOOTICA (Ngorok)  
Penyakit SE adalah penyakit menular terutama pada kerbau, sapi, babi dan kadang- kadang pada domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Penyakit SE menyebabkan kematian, napsu makan berkurang, penurunan berat badan serta kehilangan tenaga kerja pembantu pertanian dan pengangkutan. 
Di Indonesia, karena program vaksinasi SE dilakukan secara rutin, maka kejadian penyakit SE di Indonesia saat ini hanya bersifat sporadik. Namun wabah SE dalam jumlah cukup besar masih sering ditemukan, misalnya di daerah-daerah Nusa Tenggara, seperti Sumba, Timor, Sumbawa dan daerah-daerah lain. wabah SE biasa terjadi pada permulaan musim hujan. penyebabnya karena tidak tervaksinnya ternak-ternak di daerah itu.   
Etiologi
 Penyebab penyakit SE adalah bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus yang mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler dan secara serologik dikenal beberapa tipe dan penyebab SE di Indonesia, antara lain adalah Pasteurella multocida tipe 6B. 
Penularan
 1. Faktor-faktor predisposisi , seperti : kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan  sebagainya mempermudah timbulnya penyakit. 
2. Trjadi serangan umumnya menyerang sapi umur 6-24 bulan dan sering pada musim hujan yang dingin.  
3. Karena belum divaksinasi SE.
4. Kondisi stress dalam pengangkutan, 
5. shipping fever.    
Gejala Klinis 
1. Masa tunas SE adalah 1-2 hari.  
2. Lesu, suhu tubuh naik dengan cepat sampai 410C atau lebih. 
3. Gemetar, mata sayu dan berair.  
4. Selaput lendir mata hiperemik. 
5. Napsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang, disertai  konstipasi. 
6. Gangguan pencernaan berupa kolik, peristaltik usus naik, dengan tinja yang konsistensinya  agak cair dan kadang- kadang disertai titik-titik darah.
Pencegahan
1. Daerah-daerah tertular, ternak-ternak sehat divaksin dengan vaksin oil adjuvant,  sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml secara intra muskuler. 
2. Vaksinasi dilakukan pada saat tidak ada kejadian penyakit. 
3. Perlakuan penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan, penyuntikan antibiotika, penyuntikan kemoterapetika, kombinasi penyuntikan antiserum dengan antibiotika atau kombinasi antiserum dengan kemoterapetika. Dosis pencegahan antiserum untuk ternak  besar adalah 20-30 ml dan untuk ternak kecil adalah 10-20 ml. 
4.Antiserum heterolog disuntikkan secara subkutan (SC) dan antiserum homolog  disuntikkan secara intravena (IV) atau SC.  
5. Dua minggu kemudian bila timbul penyakit dilakukan vaksinasi ulang 
Pengobatan
1. Perlakuan seroterapi dengan serum kebal homolog dengan dosis 100-150 ml untuk ternak besar dan 50 – 100 untuk ternak kecil.  
2. Antiserum homolog diberikan secara IV atau SC. Sedangkan antiserum heterolog diberikan secara SC.  
3. Penyuntikan dengan antiserum ini memberikan kekebalan selama 2 sampai 3 minggu dan hanya baik bila dilakukan pada stadium awal penyakit.  
4. Sebaiknya pemberian seroterapi dikombinasikan dengan pemberian antibiotika atau kemoterapetika  
5. Pengobatan dapat dicoba dengan preparat antibiotika, kemoterapetika atau gabungan  kedua preparat tersebut. 
6. Sulphadimidine (suphamezathine) sebanyak 1 gram tiap 15 lb/bw. 
5. PINK EYE (Penyakit Mata)  
Pink Eye merupakan penyakit mata akut yang menular pada sapi, domba maupun kambing, biasanya bersifat epizootik dan ditandai dengan memerahnya conjunctiva dan kekeruhan mata. Penyakit ini tidak sampai menimbulkan kematian, akan tetapi dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi peternak, karena akan menyebabkan kebutaan , penurunan berat badan dan biaya pengobatan yang mahal.  
Etiologi
   Disebabkan oleh bakteri, virus, rikketsia maupun chlamydia, namun yang paling sering  ditemukan adalah akaibat bakteri Maraxella bovis.  
Penularan
 1. Kontak antara ternak peka dengan ternak penderita  
2. Serangga yang bisa memindahkan mikroorganisme  
3. Iritasi debu  
4. Sumber-sumber lain yang dapat menyebabkan goresan atau luka mata. 
Gejala Klinis
1. Mata berair, kemerahan pada bagian mata yang putih dan kelopaknya 
2. Bengkak pada kelopak mata 
3. Menjulingkan mata untuk menghindari sinar matahari.  
4. Selaput bening mata/kornea menjadi keruh
5. pembuluh darah tampak menyilanginya. 
6. Terjadi borok atau lubang pada selaput bening mata. Borok dapat pecah dan  mengakibatkan kebutaan. 
7. Sembuh dalam waktu 1-4 minggu, tergantung kepada penyebabnya dan keganasan  penyakitnya.   
Pencegahan 
1. Memisahkan ternak yang sakit dari ternak- ternak sehat
 2.  Melakukan sanitasi pada lingkungan ternak tersebut  
Pengobatan 
1. Pemberian suntikan antibiotik, seperti terramicin, ampicilin, tetracyclin atau tylosin 
2. Penggunaan salep mata  
3. Menempatkan ternak pada tempat yang teduh  
4. Menempelkan kain di mata dapat mengurangi rasa sakit mata akibat silaunya matahari.
6. HELMINTHIASIS (Cacingan) 
Penyakit ini sering menyerang sapi muda (pedet) dan biasanya terjadi pada musim hujan atau dalam kondisi lingkungan yang basah atau lembab ini umumnya disebabkan oleh cara pemeliharaan yang kurang diperhatikan sehingga infeksi yang parah dapat menyebabkan tingkat kematian yang cukup tinggi. Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basah atau lembab.   
Gejala Klinis  
1. Diare profus (terus-menerus) 
2. Faeces lembek sampai encer, berlendir dan disertai keluarnya segmen-segmen cacing dari  lubang anus 
3. Anoreksia (nafsu makan berkurang) 
4. Penurunan berat badan 
5. Bulu kasar, kusam, kaku dan berdiri.  
Pencegahan
1. Pemberian ransum/makanan yang berkualitas dan cukup jumlahnya 
2. Menghindari kepadatan dalam kandang 
3. Memisahkan antara ternak muda dan dewasa 
4. Memperhatikan konstruksi dan sanitasi (kebersihan lingkungan)
5. Menghindari tempat-tempat yang becek 
6. Menghindari pengembalaan yang terlalu pagi 
7. Melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan secara teratur  
Pengobatan 
1. Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole, antara lain albendazole dengan dosis5 10 mg/kg berat badan, mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg berat badan dan thiabendazole dengan dosis 44-46 mg/kg berat badan. 
2. Albendazole dilarang dipakai pada 1/3 kebuntingan awal. Mebendazole dan thiabendazole aman untuk ternak bunting, tetapi thiabendazole sering menyebabkan resistensi.